YadiFahmiArifudin
Sekolah Pasca Sarjana UIKA Bogor
Jl. KH. Sholeh Iskandar Km. 2 Bogor, Jawa Barat
16164
yadifahmi2@gmail.com
Abstract:This study sought to examine the two schools Ahlu Sunnah wa al-Jama'ah,
Asha'ira, and Salafiyya that have different characteristics. The research
method used is library research method. The researchers found that a School
Asha’irah faith is rooted in school imam Shafi'i and Imam Malik, while the
Salafi rooted in the school of Imam Ahmad bin Hanbal and Imam Abu Hanifa
School. Researchers concluded that the schools of Aqeedah Asha'ira and Salafi, although they often have conflicting opinions but both of them are rooted in the opinion of four schools
of fiqh Imam of Ahlu Sunnah wa al-Jama'ah.
Keywords: Mind Mapping,
Sunni, Aqeedah,
Salafi, and Asha’ira.
Abstrak:Penelitian ini berusaha untuk
mengkaji tentang dua mazhab akidah Ahlu Sunnah wa Al-Jamaah yaitu mazhab Asy’ariyyah
dan Salafiyya yang mempunyai karakteristik yang berbeda. Metode yang digunakan
adalah metode studi pustaka. Peneliti menemukan bahwa Mazhab Asy’riyyah merupakan
mazhab akidah yang bersumber pada mazhab imam Syafi’I dan Imam Malik, sedangkan
Salafiyyah bersumber pada mazhab Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Abu Hanifah. dan
Salafiyyah. Dengan demikian peneliti menyimpulkan bahwa mazhab aqidah
Asy’ariyyah dan Salafiyyah meskipun kerap memiliki pendapat yang bersebrangan
namun keduanya bersumberkan pada mazhab empat Imam MazhabFiqih Ahlu Sunnah wa
Al-Jamaah.
Kata Kunci: Pemetaan Pemikiran, Ahlu Sunnah wa Al-Jamaah,
Salafiyyah, dan Asy’ariyyah.
A.
Pendahuluan
Dalam kajian sejarah pemetaan konflik Islam, dimulai dengan adanya
dikotomi antara syi’ah dan sunni. Sejarah munculnya Syiah tidak lepas dari
perdebatan tentang khalifah pengganti Rasulullah. Kalangan Ansār mengklaim
golongan merekalah yang berhak memegang amanat itu, sementara kalangan
Muhajirin mengklaim sebaliknya. Di pihak yang lain, golongan yang mendukung
‘Ali ibn Abī Talib yang didukung bani Hāshim, Al-Miqdād ibn al-Aswad, Salman
al-Farisi, Abū Dhar al-Giffāri yang mengkristal muncul ketika akhir pemerintahan
‘Uthmān ibn ‘Affān, dan berkembang pesat ketika ‘Ali ibn Abī Talib memegang
kekuasaan sebagai khalifah.(Tuaimah, 1983:10)
Awalnya, Syiah bukan mazhab dalam konteks keagamaan melainkan
muncul sebagai kekuatan politik yang beranggapan bahwa ‘Ali ibn Abī Talib
adalah seorang yang dirampas kepemimpinannya oleh Abū Bakr, ‘Umar, dan ‘Uthmān.
Namun pada perkembangannya golongan ini memiliki pandangan keagamaan di bidang
akidah dan hukum, yang kemudian berkembang menjadi suatu aliran besar dengan
berbagai sekte.(Al-Shak’ah, 1994:154).
Nurcholish Madjid menduga Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Abbas
merupakan perintis gerakan kesatuan umat Islam dalam satu jamaah (AhluSunnahwa Al-Jamaah).
Kedua orang ini dikenal sebagai sahabat Nabi Muhammad SAW yang senantiasa
memelihara sunah-sunah Rasulullah saw.(Madjid, 1994:16-17). Dudung Abdurahman
berpendapat bahwa konsepsi politik Ahlussunnah dihubungkan dengan orang-orang
Islam yang menerima kepemimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan dan serangkaian
khalifah sesudahnya. Sedangkan yang
menerima keputusan bersama di antara umat Islam (dengan syarat orang Islam)
disebut politik Khawarij (Abdurrahman, 2014:46).
Fenomena konflik politik
kemudian bergeser dan mengkristal menjadi faham pemikiran keagamaan dalam hal
ini bidang tauhid. Syi’ah di satu sisi dengan Sunni di sisi lainnya ternyata
berkembang dan menimbulkan konflik pemikiran lainnya. Pemikiran tauhid di
kalangan sunni direpresentasikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal sebagai golongansalafiyyah
dan Imam ‘Asyari sebagai golongan Asy’ariyyah. Kelompok yang terakhir cenderung
lebih permisif dalam perkara akidah terhadap terhadap segala bentuk praktik
keagamaan yang baru diluar ibadah mahdzah. Hal ini berbeda dengan golongan
Salafiyyah yang cenderung keras terhadap sebagala bentuk praktik keagaman yang
baru meski dianggap sebagai perkara yang berada diluar ibadah mahdzah Pemikiran
Ahmad bin Hanbal kemudian dikembangkan oleh al-Thahawi, Ibnu Taimiyah dan Ibn Qayyim. Kristalisasi pemikiran Hanbali semakin
terlihat setelah dikembangkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab yang mengusung
pemurnian agama dan cenderung keras terhadap mereka yang bertentangan dengan
mazhabnya.
Tulisan ini akan meneliti tentang pemikiran tauhid
yang terjadi pada kelompok sunni. Mazhab Salafiyyah dan Asy’ariyyahmenjadi
pembahasan yang diperdebatkan pada tulisan ini.
B. Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah
Sulit sekali
menemukan, ulama mana yang pertama kali meletakkan terminologiAhlu Sunnah wa
Al-Jamaah sebagai sebuah mazhab pemikiran teologi. Beberapa
ulama berpendapat bawa Ahlu Sunnah wa al-Jamaah sudah ada dan dikenal
semenjak periode pertama umat Islam. Ada pula yang berpendapat bahwa kata baru
muncul dan dideklarasikan pada masa Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur
Al-Maturidi. Secara ontology,
istilah AhluSunnahwa Al-Jamaahlahir dan dideklarasikan oleh Abu Hasan
Al-Asy’ari, sebagai satu bentuk sikap perlawanan terhadap
pemikiran-pemikiran yang menyimpang dari ajaran Islam yang seharusnya
(Muhammadiyyah, Fatoni, 2004:88-89).
Sejarah pemikiran Islam kemudian mencatat bahwa AhluSunnahwa Al-Jamaahpertama kali ditemukan dalam sebuah hadits Ibnu ‘Abbas ketika
menafsirkan Al-Qur’an surat Ali Imran: 106 (Amstrong, 2015:24). Abdullah ibn
Abbas (Al-‘Asqala>ni, 2008: 227-246). menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
kelompok yang mukanya menjadi putih adalah kelompok ahlu Ahlu Sunnah wa Al-Jamaah (Ibn Katsir,
1998:92). Bahkan sudah sangat populer digunakan oleh
para ulama salaf sebelum munculnya AbuHasan Al-Asy’ari (Jawwaz, 2004: 42-43).
AhluSunnahwa
Al-Jamaahlahir dan dideklarasikan oleh Abu Hasan
Al-Asy’ari, sebagai satu bentuk sikap perlawanan terhadap pemikiran-pemikiran
yang menyimpang dari ajaran Islam yang seharusnya (Muhammadiyah, Fatoni,
2004:889-99). Dalam kajian linguistik Arab, kata sunnah bermakna jalan atau
perjalanan hidup yang baik atau yang buruk (Ibn Mandzur, 2010, 225). Sedangkan al-Jama>’ah
secara bahasa bermakna sejumlah besar manusia yang dibentuk oleh keinginan
individu (Al-‘Aql, 1995:23). Al-Jama>’ah juga bermakna mengumpulkan,
sepakat, dan berkumpul yang merupakan antonim dari kata faraqa yang
berarti perpecahan (Ibn Nadhim, tt: 790-806).
Sebagian
ulama berpendapat bahwa istilah Ahlu Sunnah wa al-Jamaahtidak dapat
dilepaskan dari makna generiknya baik bermakna ahlul hadits maupun segolongan
orang yang mengikut sunah Rasulullah dan para sahabatnya dari segala aspek.
Sebagaimana yang di ungkapkan oleh Ibn Taimiyyah Ahlu Sunnah wa al-Jamaah
adalah ahlu hadits namun tidak hanya yang mendengar, mencatat dan meriwayatkan
hadits tetapi juga yang berhak dengan
menjaganya, mengenalnya, memahaminya, secara lahir dan batin. Ahlu sunnah itu
adalah para Sahabat Rasul dan setiap orang yang mengikuti manhaj para
Tabiin yang terpilih, kemudian Asha>b al-Hadi>st dan yang
mengikutinya (Ibn Taimiyyah, tt: 271). Kelompok ini dikenal dengan Salafiyun, yaitu kelompok yang lebih mengutamakan
dalil-dalil naql (naskah syariat) dibandingkan dengan dalil-dalil aql
(logika), mendahulukan ma’tsu>r dari pada ma’qu>l,
mendahulukan riwa>yah dari pada dira>yah (Muhammadiyah,
Fathoni, 2004, 95).
Sebagian
lainya berpendapat bahwa istilah Ahlu Sunnah wa al-Jamaah tidak memiliki
korelasi dengan maknanya secara terminologis, karena yang dimaksudkan adalah
salah satu mazhab pemikiran al-Zabidi dalam menerjemahkan pemikiran Imam
al-Ghazali (450-505 H) (Watt, 2000, 9-12) adalah pemikiran Nashiru al-Sunnah
(penyelamat sunnah Nabi `Abu Hasan al-Asy’ari (260-324 H) dan Abu Mansur al-Maturidi (w 333)
(Al-Za>bidi>, 2006: 3).
Ahlu Sunnah wa
Al-Jamaah berkembang bersamaan dengan tokoh-tokoh imam
mazhab yaitu Abu Hanifah (80-150),
Malik (183) Syafi’i (150-204) dan
Hanbali (164-241). Imam mazhab yang terakhir dipandang mempunyai pengaruh besar
terhadap perkembangan corak akidahAhlu Sunnah wa
Al-Jamaah. Keempat imam tersebut dinisbahkan sebagai
imam mazhab sunni yang membedakanya dengan Syi’ah (Al-Dzahabi, 1972, 177-1999).
Menurut al-Beiruti mazhab ahlu sunnah yang ada pada saat ini terbagi menjadi
tiga kelompok yang dapat dikenali dari mazhabfikih yang di anutnya. Abu Hasan
al-Asy’ari yang merupakan Imam kelompok Asy’ariyah adalah penganut madzab
al-Malikiyah (Imam Malik) dan Syafi’iyah (Imam Syafi’i). sedangkan Abu Manshur
al-Maturidi menurut al-Beiruti berpegang kepada mazhab Hanafiyah (Imam Hanafi).
Terakhir adalah kelompok Atsariyah yang merupakan penganut paham Hana>bilah
(Ibn Darwi>s, tt:77).
Abdul
Qahir al-Baghdadi menegaskan bahwa Ahlu Sunnah wa Al-Jamaah itu terdiri dari dua kelompok yang terdiri
dari; (1) ahlu ra’yi dan hadits pengikut madzhab
Asy’ariyah dan Maturidiyah, (2) para
ahli fikih pengikut mazhab Hanabilah (Al-Baghdadi, tt:19). Pendapat lain mengemukakan,
bahwa selain golongan ahli kala>m dan atsariyah,
kelompok lain juga masuk dalam kategorisasi ahlu sunnah, yaitu kelompok sufi
(tasawuf), ahlu kasyf wa al-wijdan, atau Ahli ‘Amal.Pendapat ini
di sampaikan oleh beberapa ahli seperti Abdul Qahir al-Baghdadi, Tajjuddin
al-Subki, al-Dardari (1127H) dan al-Zabidi (Sinan, Al-Anjari, 2008: 81). Berikut ini adalah silsilah
pemikiran ahlussunnahwaljama’ah.
C.
Madzhab Salafiyah
Menurut Ibn Mandzur, kata al-Salaf
secara etimologis mempunyai arti yang terdahulu, nenek moyang, yang
lebih tua, atau yang lebih utama (Ibn Mandzur, 2010: 331). Salim Al-Hilali
berpendapat bahwa Salafiyu>n di idlafatkan pada mereka yang mengikuti
manhaj salaf al-Shalih dari para Shabat, Tabi’in, dan Tabi’u Tabi’in. Diantara ciri khas mazhab Salafiyah adalah
konsep tauhidnya yang dikenal dengan konsep Utsul al-Tsalatsah, yang
mencakup di dalamnya pembahasan mengenai keimanan kepada Allah yang meliputi Asma
wa sifat, rububiyah, dan uluhiyah (Utsman, 1981:21).
Salafiyah
yang dikenal saat ini sudah berwujud satu mazhab pemikiran, khususnya dalam
permasalahan akidah dan tauhid. Menurut Ramadhan Al-ButhiSalafiyah yang ada sekarang merupakan
suatu mazhab keislaman. Keberadaannya
sama halnya dengan golongan Muhammadiyah yang identik dengan suatu golongan
tertentu dalam Islam, bukan memiliki arti pengikut Nabi Muhammad SAW secara
umum. Namun mereka yang melihat Islam dengan cara pandangan baru, atau
mengusung modernisasi Islam. Demikian halnya Salafiyah adalah suatu mazhab yang memiliki konsep tersendiri dalam
memahami Islam (Al-Buthi, 1988: 222).
Mazhab
Salafiyah diusung oleh Imam IbnTaimiyyah sebagai pengikut mazhab Hanbali
seiring dengan jatuhnya pemerintahan kekhalifahan DaulahAbbasiyah di Baghdad
oleh tentara Tartar pada tahun 656H. IbnTaimiyyah mengajak umat Islam untuk
kembali menggunakan sistematika berfikir para ulama Salaf, menegakkan sunnah,
menegakkan akidah Salaf, menegakkan minhaj ulama Salaf dan menghindari
perbuatan bidah untuk mewujudkan kebangkitan umat Islam. Pemikiran Ibn Taimiyyah
ini kemudian mempengaruhi beberapa ulama umat Islam setelahnya seperti
al-Dzahabi, danIbnQayyim al-Jauzi ( Al-Saqaf, 2013: 10-11).
Menurut
Ibn Qayyim al-Jauzi imam ibnTaimiyyah adalah syeikh Islam dan umat Islam, ia
berdiri untuk menjelaskan kebenaran, penolong agama Islam, seorang dai kepada
Allah dan Rasul-Nya, mujahid di jalan Allah, sorang menghidupkan sunah saat
sebelumnya hanya sebatas di pelajari...ia adalah seorang syekh yang ahli ibadah,
orang yang zuhud, hafiz ribuan hadis (Ibn Yusuf, 1985: 33-34). Penganut Mazhab Salafiyyah adalah Ahlu
Sunah wa Al-Jamaah yang tidak bersedia terlibat dalam pergulatan pemikiran para
ahli kalam. Mazhab ini memilih untuk kembali kepada ajaran Al-Qur’an dan
As-Sunnah, dengan meyakininya secara utuh dan tanpa melibatkan akal dalam
memahami hal-hal yang ghaib. Mereka dikenal dengan kelompok puritarian
sebagaimana yang dilakukan oleh Imam al-Tahawi, Ibn Taimiyyah, Ibn Hazm. Sikap
Imam al-T}aha>wi pada dasarnya bukan merupakan suatu hal yang baru, karena
sikap tersebut adalah sikap yang diambil oleh para ulama haditssebelumnya
seperti halnya Imam Ahmad. Namun demikian umat Islam sekarang lebih mengenalnya
dengan Akidah al-Tahawiyah (Al-Sudais, 2008: 9-10) Pemikiran Ahmad ibn
Hanbal, al-T>}aha>wi> dan Ibn Taimiyah (salafiyyah) kemudian
dikembangkan oleh Muhammad ibn Abdil Wahhab di wilayah Hijaz dengan dukungan
politis kerajaan Saudi (Mukti Ali, 1995, 43).
Terdapat
beberapa permasalahan yang menjadi ciri khas mazhab Salafiyah yang berkaitan
dengan tarekat, dan amaliah keIslaman seperti ziarah kubur, tawasul, syafaat,
tabaruk, maulid nabi. Berikut
penjelasannya:
a)
Ziarah Kubur, para Salafiyah meyakini bahwa
ziarah kubur merupakan suatu hal yang diperbolehkan untuk mengingat kematian.
Akan tetapi, Salafiyah meyakini bahwa membangun
masjid atau candi di atas kubur, tawaf
mengelilingi kuburan, menghadap kuburan sambil meminta dan berdoa kepada
mayit berhadap sang mayit akan menunaikan
hajat nya, nazar juga berkurban dengan menyebut nama ahli kubur,
berziarah di setiap hari besar, dan merayakan
hari kelahiran sang mayit menyelisihi syariat, atau tidak
ditemukan pengamalanya dalam naskah-naskah syariat (Utsaimin, 2008: 227).
b)
Tawasul, para ulama Salafiyah menganggap bahwa tawasul terhadap para nabi
merupakan perkara yang diperbolehkan dari beberapa aspek, bertawasul kepada Allah dengan jalan
mencintai para nabi, dengan mengikuti ajarannya, menaati apa yang disampaikannya dari Allah. Para ulama
Salafiyah memperbolehkan untuk bertawasulkepada Allah melalui doa para
nabi saat hidupnya, demikian pula bertawasul untuk mendapatkan syafaat
nya di akhirat di saat hidupnya. Namun demikian para ulama Salafiyah
berpendapat bahwa ber-tawasul kepada para nabi dan para ulama yang masih
hidup merupakan suatu ibadah yang tidak di perintahkan dalam Islam, tidak juga
ditemukan naskah-naskah syariat yang melarangnya (Ibn Taimiyyah, 1999: 35,42).
c)
Merayakan maulid Nabi. Salafiyah meyakini bahwa
merayakan maulid nabi adalah perkara yang bidah yang tidak di perintahkan dalam
Islam. Merayakan hari kelahiran Nabi
Muhammad SAW tidak pernah dilakukan oleh salah seorang Salafshalih, bahkan
merupakan perilaku menyerupai agama lain seperti agama nasrani (Al-‘Aql, tt: 619-620).
D. MazhabAsy’ariah dan Maturidiah
Madzhab
Asy’ariah dipelopori oleh Imam Abu Hasan Al-Asy’ari (Al-Subki, 1964: 6). Imam Jalal Al-Diwani menjelaskan alasan yang melandasi ditetapkanya
Asy’ariyyah sebagai bagian dari Ahlu Sunnah. Firqah Al-Najiyah adalah mereka
yang mengikuti (kaidah) Ushul Syeikh Abi Hasan Al-Asy’ari, yang dalam akidah
mereka berpegang teguh pada hadits-hadits sahih yang dinukil dari para
sahabat-Nya, dan tidak memperbolehkan pendzahiranya kecuali dalam keadaan
dzarurat, dan juga tidak menuhankan akalnya sebagaimana golongan muktazilah
(Al-Diwa>ni, tt: 43).
Ibn Hajar
al-Haitsami menambahkan alasan yang melandasi digolongkanya Asy’ariah pada Ahlu
Sunnah wa Al-Jama’ah. Ketika dimintai pendapat tentang imam Al-Asy’ari, dan
beberapa ulama lainya al-Haitsami berpendapat bahwa mereka adalah para pemimpin
agama diantara para ulama Islam, maka wajib hukumnya mengikuti mereka, (hal
tersebut) karena usahanya mendirikan syariat (Islam) memperjelas setiap permasalahan,
menolak perkara syubhat (Al-Subki, 1964: 86).
Pendapat yang
serupa pun di ungkap kan oleh Imam Tajuddin al-Subki. Tajuddin Mengutip pendapat
Taqiyu al-Di>n al-Subki, bahwa Asy’ariyah selalu mereferensikan pendapatnya
kepada Abu Bakar, Umar ra karena akidah keduanya merupakanr dari akidah
representasi dari para sahabat Nabi saw (Al-Subki, 1964: 3, 365). Keberadaan
Abu Hasan Al-Asy’ari sebagai bagian dari Ahlu Sunnah wa Al-Jamaah terlihat dari
banyaknya para ulama penganut madzhab
fiqih empat madzhab yang juga mengikuti jejak Imam Abu Hasan Al-Asy’ari,
seperti halnya para penganut madzhab Imam Syafi’i. Menurut Al-Syairazi, Abu
Hasan al-Asy’ari (adalah) Imam Ahlu Sunnah wa Al-Jama’ah, dan (Imam) mayoritas
penganut madzhab Imam Syafi’i, dan madzhabnya merupakan madzhab para pembawa
kebenaran (Al-Subki, tt: 86).
Ibn Darwi>s berpendapat bahwa Abu Hasan Al-Asy’ari merupakan penganut
madzhab Imam Malik dan Imam Syafi’i. Menurut Al-Beiruti, Malikiah (penganut
madzhab Imam Malik) dan Syafi’iyah (penganut madzhab Imam Syafi’i) mayoritasnya
adalah Asy’ariah penganut mazhab akidah Abu Hasan al-Asya’ari (Ibn Darw>s,
tt: 77). Adapun Ibn Hajar al-Haitsami memkhususkan Abu Hasan Al-Asy’ari sebagai
pemimpin Syafi’iyah. Menurut Al-Haitsami, bahwa pemimpin Ahlu Sunnah wa
Al-Jama’ah dalam Ilmu Kalam dua orang, salah satunya adalah Syafi’iah yaitu Abu
Hasan al-Asy’ari (Al-Haitsami, 1970: 33).
Pemikiran
al-Asy’ari mendapat dukungan intelektual dari ulama sesudahnya seperti Abu
al-Muzzaffar al-Isfrayini (471H), Ta>j al-din al-Subki (727-771H), Jala>l
al-Din al-Diwani (830-918H), Ibn Hajar al-Haitsami (974-909H), Ibn Alwi
al-Hadad (1044-1132H), Muhammad ibn Darwis al-Hu>t al-Beiru>ti>
(1262-1336H) yang berpendapat bahwa yang dimaksud kelompok akidahAhlu Sunnah
wa Al-Jamaah adalah kelompok yang mengikuti pemikiran Imam
Abu Hasan al-Asy’ari (Al-Isfra>yi>ni>, 1973: 111).
Terdapat
beragam cara pandang para ulama yang menyatakan bahwa al-Asyari adalah termasuk
kelompok ahlu sunnah wal jamaah. Keberpihakan Al-Isfrayini terhadap
al-Asy’ariyah didasarkan pada ketegasan al-Asy’ari dalam menolak terhadap
pendapat yang menyesatkan dan membidahkan kelompok Asy’ariyah (Al-Isfra>yi>ni>,
1973: 111), Tajuddin al-Subki lebih melihat karakteristik akidah al-Asy’ari
yang mempunyai kesamaan dengan para sahabat Rasul saw seperti Abu Bakar dan
Umar bin Khattab, juga para sahabat lainya (Al-Subki, 1964: 365). Sedangkan
Imam al-Haitsami memandang al-Asy’ari
sebagai satu kelompok Ahlu Sunnah wa Al-Jamaah dilihat dari motif pergerakan dakwahnya dalam
menyelamatkan syariat, dan menolak ahli bidah dan menganggap sesat bagi pihak yang menyatakan
Asy’ariyah sesat (Al-Haitsami, 1970: 103). Sikap Jalal al-Diwa>ni yang
mendukung al-Asy’ari karena kelompok tersebut berpegang teguh kepada sabda
Rasulullah dan para Sahabatnya, tidak memperdebatkanya kecuali dalam keadaan
mendesak, dan tidak menjunjung tinggi akal seperti halnya kelomok Mu’tazilah (Al-Diwa>ni,
tt: 43). Alasan yang sama juga dikemukakan oleh Ibn ‘Ali al-Hadad, bahkan
menurutnya paham Asy’ariyyah juga diikuti oleh sejumlah ahli tasawuf
(Al-Hadda>d, tt: 67-68). Demikian juga menurut Al-Beiruti dengan menggunakan
redaksi yang berbeda bahwa Asy’ariyah termasuk firqah najiyah anlisa yang
dipergunakan oleh al-Asy’ari menyelaraskan antara dalil aqli dan naqli
(Nasution, 1986: 64).
Selain
pemikiran Abu Hasan al-Asy’ari yang
muncul dan berkembang di Iraq, al-Maturidi (w. 333) juga mengembangkan teori Ahlu
Sunnah wa Al-Jamaah di Samarqan dengan menggunakan pendekatan
rasio ra’yu dan naskah (naql) (Nasution, 1986: 64).
Pengakuan terhadap al-Maturidi sebagai bagian dari ahlu sunnah waljamaah
dikemukakan oleh Al-Zabidi (1145-1205H) dalam menerjemahkan pemikiran Imam
al-Ghazali (450-505 H) (Watt, 2000: 9-12), bahwa kelompok ahlu sunnah yang
dimaksudkan oleh Imam al-Ghazali adalah kelompok pengikut pemikiran ImamNaskahiru
al-Sunnah (penyelamat sunnah Nabi) Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi
(Siradjuddin, 2006: 3). Al-Haitsami pun menambahkan pendapat az-Zabidi dan
pendapatnya yang pertama bahwa yang dimaksudkan dengan Ahli Sunah adalah
orang-orang yang berada pada apa yang ada pada imam Ahlu Sunnah wa
Al-Jamaah Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu
Mansur al-Maturidi (Al-Haitsami, 1970: 82).
Dari
perkembangan tokoh-tokoh tersebut, Abu Hasan al-Asy’ari menurut Nurcholis
Madjid cenderung mendominasi teologi Islam dibandingkan dengan tokoh lainnya.
Menurut Mustafa Ceric, al-‘Asyari cenderung memberikan doktrin untuk percaya
seperti halnya pendahulu salaf yaitu Ahmad ibn Hanbal hal ini berbeda dengan
al-Maturidi yang berusaha memperlihatkan teologinya untuk mengajak “bagaimana
untuk mempercayai” karena pemikiran al-Maturidi lebih dekat dengan akal
dibandingkan dengannaskah. Di sisi lain, sosok al-Ghozali yang mengusung
secara eksplisit ajaran al-‘Asyari menjadi spirit tersendiri bagi perkembangan
al-Asy’ari (Ceric, 1995: 23). Sebaliknya al-Maturidi cenderung lebih
mengedepankan aql dibandingkan naskah dan pemikirannya lebih
dekat dengan teologi Abu Hanifah sebagaimana yang terdapat ada fikih akbar.
Sedangkan, pemikiran Ahmad ibn Hanbal dan T}aha>wi> dikembangkan oleh Ibn
Taimiyyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab
yang kemudian sering dijuluki dengan Salafi Wahabi (Jumu’ah, 2008:18).
Beberapa ahli dan ulama modern mengindentikan kelompok ahlu sunnah
sebagai kelompok yang dimotori oleh Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Musa
al-Maturidi. Hasan Abu Ayub mengaritikan ahlu sunnah adalah Abu Hasan
al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi beserta masing-masing pengikutnya.
Menurutnya kedua ulama tersebut layak di golongkan sebagai Ahlu Sunnah wa
Al-Jamaah karena dari segi pemahaman akidah al-Asy’ari
dan al-Maturidi menganut pemahaman akidah salaf al-Shalih yang bersumber kepada
a-Qur’an dan al-Sunnah. Abu Hasan dan Abu Manshur meyakini bahwa ayat-ayat
al-Mutasyabih, merupakan suatu bentuk gaya bahasa yang tidak bertentangan
dengan akal. Namun demikian jika maknanya belum bisa dipahami dengan akal maka,
maka tawaquf dan tafwidlah jalan keluarnya (Hasan, 1983:229).
Sayyid Hawa berpendapat bahwa identifikasi ahlu sunnah yang
mengerucut pada satu Imam merupakan suatu hal yang lumrah dan logis, bukan
suatu hal yang mengada-ada hal tersebut sama sebaimana halnya yang terjadi
dalam bidang-bidang keilmuan lainya seperti fikih, tasawuf, dan suluk.
Kecenderungan masyarakat terhadap satu tokoh tertentu dalam satu bidang
keilmuan sudah berlangsung dari masa kemasa.
Seperti halnya dalam bidang fikih yang mempunyai imam yang menghasilkan
karya tulis yang terkemuka hingga saat ini. Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Musa
al-Asy’ari juga dikenal sengai Imam Ahlu Sunnah wa Al-Jamaah dalam bidang akidah. Hal tersebut didasarkan pada pemikiran mereka yang
belandaskan Al-Qur’an dan Sunah juga Ijma para sahabat (Hawa, 1993: 3-22).
Menurut Abu Hasan al-Nadwi berpendat bahwa pengaruh mereka dalam
perkembangan pemikiran dunia Islam sangatlah besar, terutama dalam usaha
mengembalikan pemikiran masyarakat dari pemahaman Mutazialah kepada pemahaman
yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunah. Al-Nadwi menambahkan bahwa perjuangan
al-Asy’ari dan al-Maturidi adalah perjuangan yang dilandasi dengan semangat
untuk mengambalikan semua permasalalahan yang ada, khususnya masalah yang
berkaitan dengan akidah kepada keberlangsungan dan kemuliaan syariat Alam,
sehingga pertentangan yang terjadi dengan para filosof dan kelompok Mu’tazilah
pada saat itu, sudah menjadi satu konsekwensi perjuangan mereka (Al-Nadwi,
2007: 137).
Beberapa kelompok salaf menganggap asy’ariyah dan maturidiyah
sebagai suatu golongan yang sesat, hal itu disebabkan karena kedua kelompok
tersebut menggunakan metode takwil dalam memahami ayat-ayat al-Mutasyabih.
Menurutnya pelabelan tersebut tidaklah tepat, karena metode takwil tersendiri
adalah metode yang digunakan oleh mayoritas ulama salaf (Sinan, 2008:102).
Hamad mengutip pendapat Imam Zarkasyi
yang mengatakan bahwa takwil merupakan metode penafsiran ayat-ayat al-Mutasyabih yang dinukil dari para
Sahabat, seperti Ibn Mas’ud dan Ibn ‘Abbass. Sebaliknya Imam Zarkasyipun
menambahkan bahwa justru ketika ayat-ayat tersebut dipahami secara zahir dimana
Allah di serupakan dengan makhluk-Nya maka hal seperti itulah yang disebut
dengan sesuatu yang bathil (Al-Zarkasy, 2006: 207). Imam Nawawi menambahkan
bahwa mazhab takwil adalah salah satu mazhab kebanyakan ahli kalam dan
mayoritas ulama salaf seperti halnya dilakukan oleh Imam Malik dan al-Auzai’(Nawawi,
1929: 36).
Al-Ghazali berpendapat bahwa metode
takwil bukan sesuatu hal yang baru, namun merupakan perkara yang umumnya
dilakukan oleh masyarakat arab di generasi pertama umat Islam. Hanya saja pada
saat itu umat Islam tidak mendeklarasikanya sebagai satu metode dalam
menafsirkan ayat al-Mutasyabih, namun hanya sebagai perkara yang umumnya
difahami. Masyarakat muslim arab sangat memahami bahwa yang dimaksudkan ayat
al-Mutasyabih adalah satu bentuk pemajazan bukan sesuatu yang bermakna hakiki.
Seperti halnya dalil yang menyatakan bahwah Ka’bah adalah Rumah Allah (Baitullah),
tanpa ada penjelasan masyarakat arab sudah mehamai bahwa maksud dari dalil
tersebut bukan bermakna bahwa tinggal di dalam Ka’bah sebagaimana manusia
dinggal di dalam rumahnya (tidur, makan, dll), namun memiliki arti lain, yaitu
satu bentuk pemuliaan terhadap ka’bah. Perkara tersebut hanya akan menjadi
permasalahan jika didengar oleh seorang
anak kecil pada masa itu (Al-Ghazali, 1998: 49). Menurut Ibn Taimiyyah
berpendapat behwa permasalahan mengenai takwil hakekatnya merupakan pemasalahan
ijtihadiah kecuali dalam perkara-perkara tertentu yang mengarah pada penolakan
apa yang sudah menjadi kesepakatan diataran para ulama (Ibn Taimiyyah, 2004:
35, 395).
Salah satu konsep akidah yang menjadi ciri khas mazhab Asy’ariyyah
adalah adanya satu rumusan sifat-sifat Allah yang diambil dari ayat-ayat
al-Qur’an yang bersifat Muhkam, untuk dijadikan landasan dalam memahami
ayat-ayat Mutasyabih, yang dikenal dengan sifat 20 (Abbas, 2008: 28-35/
Al-Baijuri, tt: 82). Konsep tersebut hakikatnya di rumuskan oleh Imam Sanusi
hasil penggabungan konsep akidah Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dalam memahami ayat-ayat sifat Mutasyabih yang
berjumlah 13 sifat, dengan konsep Imam
Abu Manshur al-Maturidi yang telah merumuskan delapan sifat Allah (Al-Baijuri,
tt: 61).
Para Ahli
berpendapat bahwa konsep mengenai
sifat 20 adalah konsep yang dirumuskan dan diperkenalkan pertama kali oleh Imam
Muhammad bin Yusuf Al- Sanusi. Sehingga rumusan ini juga dikenal dengan Istilah
Akidah Sanusiah. Konsep tersebut dari analogi sederhana mengenai sistematika
berfikir logis. jumlah dua puluh sifat itu hakekatnya merupakan jumlah rumusan
sifat wajib bagi Allah. Sedangkan sifat Mustahil adalah sifat yang menjadi
lawan dari sifat wajib yang juga berjumlah 20 sifat. Sedangkan sifat jaiz hanya
satu sifat yaitu mengerjakan yang apa dia kehendaki atau meninggalkanya. Dua
puluh sifat wajib dan mustahil itu kemudian di klasifikasikan kembali menjadi
empat kelompok, yaitu sifat nafsi>ah, salbi>ah, maknawi>ah, dan
ma’a>niah (Ardae, 2014: 53).
Berikut adalah pengertian dari ke empat aspek
sifat dua puluh Aqidah Sanusiah:
a.
Sifat Nafsiah adalah sifat wajib bagi dzat Allah selama Allah itu
dzat, yaitu sifat Wuju>d (ada)
b.
Sifat Salbiah adalah sifat
yang berfungsi sebagai landsan untuk menafikan
sifat-sifat yang tidak layak
bagi ke Agungan-Nya, yaitu sifat
qidam (terdahulu), baqa> (kekal), mukhalafatuhu lil hawadits (berbeda dengan
makhluk-Nya), qiyamuhu binafsihi (berdiri sendiri), wahdaniyyah (esa/ tunggal).
c.
Sifat Ma’a>ni adalah sifat Allah yang memiliki keserupaan
dengan sifat yang dimiliki oleh makhluk-Nya, yaitu qudrah (berkuasa),
ira>dah (berkehendak), ilmu (tahu), hayat (hidup), sama’ (mendengar),
basha>r (melihat), dan kalam (berkata-kata).
d.
Sifat Ma’nawi>ah adalah
sifat yang menyerupai ke tujuh sifat Ma’ani. Disebut dengan sifat ma’nawi>ah
karena pensifatanya merupakan turunan dari ketujuh sifat Ma’ani, yaitu Qadirun
(yang berkuasa), ‘Alimun (yang berkehendak), Hayyun (yang hidup), Sami’un (yang
mendengar), Bashirun (yang melihat), dan Mutakalimun (yang berkata-kata)
(Al-Dasuki, tt: 74-161).
E.
Legalitas Distingsi Pemikiran
Perbedaan
mendasar dalam menyikapi beragamnya pemikiran masalah tauhid terletak dari dua
kategori permasalahan, yang pertama bersifat pokok dan yang kedua cenderung
merupakan bagian dari yang pokok.Abdurrahman Abdul Khaliq membagi permasalahan akidah pada dua
macamTsa>bit dan Mughayirat (Abdul Khalik, tt: 65). Pendapat serupa di
ungkapkan oleh Sahalah
Shawi yang mengistilahkanya sebagai Tsawabit dan
Mutaghayyirat (Sha>wi>, 2009: 17, 20). Sedangkan Al-Humaidi
mengistilahkanya dengan Ushul dan Juz’iyyah (Al-Humaidi, 2000:
288) adapun Hamad Sinan mengistilahkan nya dengan perkara Ushul dan Furu’ (Abdul
Latif, 2007: 47).
Abdurrahman
Abdul Khaliq berpendapat bahwa yang dimaksud dengan yang Tsabit adalah
perkara yang sudah jelas ketetapannya sehingga pada hal ini seorang Muslim
tidak dapat melakukan ijtihad apa pun di dalamnya atau bahkan berbeda pendapat
tentangnya. Sedangkan Mutaghayyirat adalah kebalikannya yaitu perkara
yang diperbolehkan di dalamnya ijtihad (Abdul Khalik, 1997: 24).
HamadSinan menjelaskan lebih rinci Ushul dalam permasalahan akidah.UshulSunnah adalah berhubungan dengan apa yang dipegang teguh oleh para
sahabat Nabi SAW. Salah Golongan yang keluar dari AhluSunnahwa Al-Jamaah
contohnya adalah syiah (Rafidhah), hal tersebut disebabkan karena Syiah banyak
menentang hadis Nabi dan Al-Qur’an, demikian pula menentang para ulama salaf,
dan menyelisihi Jumhur Ulama dari segala aspek. Kejauhan Syiah dari minhaj yang
digariskan oleh para ualamSalaf menjadikannya keluar dari AhluSunnahwa
Al-Jamaah. Ringkasnya, AhluSunnahwa al-Jamaah adalah mereka yang mengikuti
Al-Qur’an, Kitab Allah, dan Ijma’ Shalaf al-Sholeh baik dari aspek keyakinan
maupun aspek praktis perbibadatan. Mereka yang tidak mengikuti ketiga hal
diatas, maka ia tekah dianggap keluar dari ajaran AhluSunnahwa Al-Jamaah
atau termasuk golongan pelaku bidah (Al-Hulaibi, tt: 2).
Dari penjelasan diatas peneliti
menyimpulkan bahwa Ushul, Tsabit, atau Tsawabit terbagi kedalam dua macam yaitu
Ushuluddin, dan Ushul Ahlu Sunnah wa Al-Jama’ah. Ushuluddin
adalah perkara yang menyangkut dasar keimanan, sebagai pembatas antara mereka
yang Muslim dan Non Muslim. Sedangkan UshulAhluSunnahwa Al-Jamaah adalah
perkara pokok dalam akidah AhluSunnahwa Al-Jama’ah, yaitu suatu batasan
yang dapat membedakan mana yang termasuk penganut mazhab AhluSunnahwa
Al-Jamaah atau penganut bidah
(Al-Mumaidi, tt: 288).
Ushuluddin
adalah apa yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya secara umum yang ketetapannya
sangat dipahami dan tidak memerlukan penjelasan lanjutan, seperti halnya iman
terhadap wahdaniyah Allah, kenabian Nabi Muhammad, keberadaan hari kebangkitan,
dan pembalasan, kewajiban shalat, kewajiban zakat, keharaman khamar, dan
larangan berbuat syirik (Sha>wi>, 2009: 129-164). Dari definisi di
atas dapat lah di pahami bahwa perkara Ushuluddin adalah ketetapan-ketetapan
yang berasal dari dalil yang bersifat jelas, qathibaik secara wurud maupun dilalahnya.Qath’iwurud berhubungan dengan ke otentikan dalil, kuatnya penjagaan dalil sehingga
menghilangkan keraguan akan orisinalitas dalil, dan kepalsuanya dianggap
perkara yang mustahil.AdapunQathiDala>lahyaitu dalil yang menunjukan
pada suatu pemahaman makna yang spesifik dan tidak memerlukan takwil atau dalil
lainya untuk memperjelasnya (Khallaf, 1956: 34-35).
Ushul Ahlu Sunnah wa Al-Jamaah
adalah yang disepakati oleh para sahabat secara ijma’ dari proses memahami
al-Qur’an dan Hadist yang memiliki sifat dzanni pada aspek wurud maupun
dala>lahnya sehingga membutuhkan ijtihad para sahabat, namun tetap memiliki
aspek qath’i yang memudahkannya untuk disepakati secara ijma’. Dengan demikian
Menurut Ibn Hanbal sumber utama Ushul Ahlu Sunnah wa al-Jamaah secara umum
adalah al-Qur’an, Sunah dan Ijma’.Pemikirannya yang menyimpang dan disebut
sebagai Ahli bida’ah dan orang-orang yang sesat (Sha>wi>, 2008: 34-35).
Dimensi Furu atau Mutaghayirat,
menurut Abdurrahman Abdul Khaliq adalah suatu permasalahan yang tidak ditemukan
ketetapan pastinya, tidak diatur secara spesifik implementasinya, namun
diperintahkan atau dilarang secara general dalam nash-nash yang bersifat tsabit,
mempunyai kekuatan hukum tetap seperti al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’.
Hamad Sinan
mengistilahkan sebagai perkara Furu’ Akidah, yang dipahami sebagai satu dimensi
permasalahan yang berada diluar permasalahan Ushuluddin dan Ushul Ahlu Sunnah
wa Al-Jamaah. Maka hal-hal yang bersifat Furu’ tidak dapat dijadikan landasan
untuk menghakimi kafir atau mengeluarkan seseorang dari golongan Ahlu Sunnah
wa Al-Jamaah meskipun masih dalam ruang lingkup pembahasan akidah dan
keimanan (Sinan, 2008: 120).
Menurut Hamad Sinan terdapat beberapa
permasalahan Ahlu Sunnah wa Al-Jama’ah dalam akidah, Furu’Akidah adalah perkara
yang ada selain dari kedua macam pemasalahan diatas, atau Juz’iyyah Aqidah
bagian dari permasalahan akidah…perbedaan didalamnya merupakan suatu hal yang masyru’
yang pernah terjadi diantara para ulama salaf diantaranya berbedaan dalam
mentafwid ayat al-Mutasyabih dan mentakwilnya (Sinan, 2008: 141).
Para
ulama baik kalaf maupun salaf mempunyai metode tersendiri dalam
menafsirkan ayat tersebut. Hamad Sinan dan Fauzi Al-Anjari mengistilahkanya sebagai metode Takwil dan
Tafwid sebagai berikut: (1) Tafwid adalah mengembalikan pengetahuan tentang al-Mutasyabihat
kepada Allah l dan tidak menyelami (khawdh) maknanya setelah melepaskan
Allah dari makna dzahirnya yang tidak sesuai dengan syariat. (2) Merubah lafadz
dari dzahirnya dengan qarinah yang mengacu padanya (Sanin, 2008: 141).
Sedangkan Muhammad Al-Fadhil mengistilahkanya degan takwil kedalam dua macam,
yaitu Takwil Tafshili dan Takwil Ijma>li, yaitu: (1) Takwil Tafhili
adalah memindahkan apa yang ada dalam al-Qur’an atau Sunnah yang menimbulkan Waham
dari pendzahiranya dengan memberikan makna penjelas (ta’yi>n). (2) Takwil
Ijma>li adalah menyerahkan maknanya kepada Allah, dengan terlebih dahulu
memindahkan maknanya dari makna dzahir tanpa Ta’yi>n makna penjelas,
atau istilah lainya disebut dengan Takwil Tafwidhi (Al-Fa>dlil, tt:
37).
Permaslahan
mengenai perbedaan pendapat mengenai metode penafsiran ayat al-Mutasyabih, baik
Tafwid atau Takwil Ijmali, dan Takwil atau Takwil
Tafshili, terletak pada perbedaan pendapat dalam menetapkan tempat
berhentinya ayat.Kata “dan” (و) dalam potongan ayat “dan orang-orang yang
mendalami ilmunya”(والرسخون) difahami berbeda antara para ulama salaf
dan salaf. Para ulama salaf mengkategorikanya sebagai Wa>w
Istisna>fiyah dan kalimat setelahnya disebut dengan kalimat musta’nifah,
dengan demikian ketika difahami seperti itu maka maknanya menjadi “tidak
ada yang tau takwilnya kecuali Allah l”, mengembalikan takwilnya kepada Allah
dengan keyakinan bahwa Allah lebih mengetahui maksudnya, tidak menyibukan diri
untuk mentakwilkanya, hal tersebut dilakukan setelah meyakini bahwa Allah tidak
menyerupai makhluk-Nya. Berbeda halnya dengan pendapat para ulama khalaf,
mereka meyakini bahwa lafadz “dan” adalah huruf ‘Athaf (kata penghubung)
dan kalimat setelahnya disebut dengan ma’thuf (yang terhubung) dengan lafadz Jalala>h
(Allah). Dengan demikian maknanya
menjadi berbeda dengan pendapat yang pertama. Dari ayat ini difahami bahwa
selain Allah, al-Ra>sikhu>n (orang yang mendalami Ilmu) juga memahami
makna dari ayat-ayat al-Mutasyabih (Al-Asfaha>ni, 2009: 174).
F. Simpulan
Hasil penelitian menunjukan bahwa bahwaakidah mazhab Asy’ariyyah
merupakan mazhab akidah yang lahir dari pemahaman akidah para ulama mazhab imam
ImamSyafi’i dan Imam Malik.Sedangkan, mazhab Salafiyyah adalah mazhab yang
mengacu pada pendapat para ulama mazhab Imam Ahmad dan Imam Abu Hanifah. Dari pemaparan
diatas peneliti menyimpulkan bahwa Mazhab Asy’ariyyah dan Salafiyyah meskipun
berbeda pendapat dalam beberapa permasalahan akidah namun keduanya bersumber
dari tradisi fiqihAhluSunnahwa Al-Jamaah dari empat Imam mazhab fiqih;
Imam Syafi’I, Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Ahmad. Dengan demikian
perbedaan Asy’ariyyah dan Salafiyyah hakikatnya dilatarbelakangi oleh perbedaan
pendapat yang umumnya terjadi diantara para Imam mazhab tersebut.
G. Referensi
Ali , A. Mukti. Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah. Jakarta:
Djambatan, 1995.
Al-Humaidi, Abdul Ajiz bin Abdullah.Risa>lah
al-Syumu>liyah,Saudi Arabia: Da>r ‘Uyu>n al-Ma’rifah, 2000.
Abdul Latif, Abdul
Aziz bin Muhammad bin ‘Alli.Nawa>qidl
al-I>ma>n al-Qawliyah wa al-‘Amaliyah. Riyad:
Mada>r al-Wathan Li al-Nasyr, 2007.
Ibn Kasir,Abdul
Fida IsmailAd-Damasyqi.Tafsir Ibnu Katsir..
Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2008.
Al-Baghdadi,Abdul Qahir.Al-Farqu
Baina al-Firaq. Kairo: Pustaka Ibn Sina, tt.
Abdul Wahab Khallaf.‘Ilm Ushu>l al-Fiqh. Mesir: Pustaka Dakwah
Islamiyah Syaba>b al-Aszhar, 1956.
Khalik, Abdurrahman Abdul.Salafiyun
wa al-Aimmah al-Arba’ah.Kuwait: Da>r Salafiyah li al-Nasyr wa
Al-Tauzi>’, 1977.
Al-Sudais,Abdurrahman Ibn Sholih.Syarh
al-‘Aqi>dah al-Taha>wiyah.
Riyadh: Da>r Tadmoria, tt.
Al-‘Asqala>ni.Abi al-Fadhl Ahmad
bin Ali bin Hajar.al-Ishabah fi Tamyi>z al-Shaha>bah. Kairo:
Markaz Hijr Lilbuhu>ts wa al-Dira>sa>t al-‘Arabiyah
wa al-Isla>miyah, 2008.
Al-Dimasqy.Abi al-Fida>’
Isma>’i>l ibn ‘Imra>n ibn Katsi>r al-Qurasy.Tafsir
Qur’a>n al-‘Adzim. Riyadh: Daar Thayyibah lilnasyr wa al-Tauzi>’,
1998.
Al-Misraty, Abu Abdurrahman Shalaah ibn
Salaam.Mu’jam al-Shahaabah. Madinah: Maktabah al-Ghuraba al-Atsariyah, 2006.
Al-Isfra>yi>ni>,Abu
al-Muzaffar.al-Tafsi>r fi al-Di>n wa Tamyi>z al-Firqah
a;-Na>jiyah ‘an al-Firqah al-Ha>likin. Beirut: Maktabah ‘Alim
al-Kutub, 1973.
Al-Nadwi,Abu Hasan.Tabshit
al-Aqa’id al-Islami. Beirut:Daar al-Nadwah, 1983.
----, Rijal al-Fikri wal al-Dakwih fi Al-Islam. Beirut: Daar Ibn
Katsir, 2007..
Al-Hulaibi, Ahmad bin Abdul ‘Ajiz.Ushul
al-Hukmi ‘Ala al-Mubtadi’ah ‘Inda Syeikh Isla>m Ibn Taimiyyah.Kairo:
Da>r Fadhi>lah, tt.
Jumu’ah
, Ali.Al- Baya>n lima> Yashgal al-Azha>n.Kairo: Da>r Ihya> al-Sunnah, 2008.
Al-Haddad,Alwi.Risalah al-Mu’awanah, al-Mudzahirah. al Muazirah,Kairo: Pustaka Da>r
al-Ha>wi, 1994.
Al-Saqaf, Alwi
bin Abdul Qadir.Aqidah Al-Washatiyah.
Riyad: Pustaka Durar al-Suniyah, 2013.
Al-Za>bidi. Itiha>f
al-Sa>datu al-Mutaqi>n bi Syarhi> ihya> ‘Ulumu al-Di>n.
Beirut: Muasasatu al-Tari>kh al-‘Arabi, tt.
Al-Zarkasyi,
>Badruddi>n.al-Burha>n
fi ‘Ulu>m al-Qur’an.Beirut:
D>a>r al-Hadi>ts, 2006.
Abdurahman, Dudung.Komunitas
Multikultural dalam Sejarah Islam Periode Klasik. Yogyakarta:
Ombak, 2014.
Ghaza>li.Iljam al-‘Awa>m fi ‘Ilmi al-Kala>m. Libanon: Da>r Fikr al-Lubna>ni, 1998.
Hamad
Sinan dan Fauzi al-Anjari. Ahlu al-Sunnah al-Asya’irah. Kuwait: Da>r al-Dhiya>’, 2004.
Nasution,
Harun.Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisis
Perbandingan. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1991^.
Muhammadiyah, Hilmi
dan Fatoni, Shulthan.NU Identitas
Islam Indonesia. Jakarta : eLSAS, 2004.
Al-Haitsami, Ibn Hajjar.al-Jawajir
‘an Iqtifa>f al-Kaba>ir.Kairo: Syarikah Maktabah wa Mathba’ah
Musthafa al-Baby al-Hally, 1970.
Ibn Mandzur.Lisanul
‘Arab.
Beirut: Pustaka Da>r Shadr, 2010.
Ibn Nadhim.Syarh al-Fiyah ibn
Ma>lik li Ibn Nadhim. Beirut: Da>r al-Jil, tt.
Ibn Taimiyyaah.Qa>’idah
Jali>lah fi tawashul wa al-Washilah.Pustaka Malik Fahd, 1999.
Ibn Taimiyyah.Majmu>’
al-Fata>wa.Riyadh: Mujma’ Malik Fahd, 2004.
----, Minjah As-Sunnah, Lihat
juga di Ibn Hazm Al-Dzahiri.Al-Fisha>l fi Mila>l wal Ahwa>
al-Niha>l. Beirut: Da>r al-Ji>l, tt.
Al-Baijuri, Ibrahim.Kifayatu
al-‘Awwa>m.Surabaya: Da>r al-‘Ilm, tt.
Nawawi, Imam.Syarh Muslim. Kairo: Daar
al-Hadis, 1929.
Hanbali,Mar’I Ibn Yusuf Karami.Syahadah
Zakiyah fi Tsana> al-‘Aimmah ‘Ala Ibn Taimiyyah. Beirut: Pustaka Da>r
al-Furqa>n, 1985.
Ardae,
Masakaree.“Kesejarahan Ajaran Sifat 20 di Alam Melayu”.2014, Jurnal Kajian
Sejarah & Pendidikan Sejarah, 2 (1) Maret 2014, hlm. 53 diuduh dalam
http://www.susurgalur-jksps.com di akses pada tanggal 23 Maret 2016.
Anshari,Muhammad Abdul-haqq.Comentary
on the Creed of at-Taha>wi by Ibn Abi> al-“zz Syarh al-‘Akidah
alt-Taha>wiyy>ah.Riyadh: Institute of Islamic and Arabic
Sciences in Amerika, 2008.
Al-Dasuki,Muhammad.Hasyiah al-Dasuki ala Ummu al-Barahin Li Imam Al-Sanusi. Surabaya: Pustaka Imaratullah, tt.
Utsaimin,Muhammad
bin Shalih.Majmu>’ al-Fatawa>.Riyad:
Da>r Wathan li al-Nasyr, 2008.
Utsman,Muhammad
Fathi.al-Salafiyah fi al-Mujtama’a>t
al-Mu’a>shirah. Kuwait: Da>r al-Qalam,1981.
Al-Beirut,Muhammad
ibn Darwi>s al-Hu>t.Rasa’il fi Baya>n‘Aqa>id Ahlu Sunnah wa
al-Jama>’ah, Beirut: Darul Kutub Al-Islami,tt.
Al-Shak‘ah,Musthafa
Muhammad.Islam bila Madzahib.
Jakarta: Gema Insani Press, 1994.
Al-‘Aql,Na>sir
Ibn Abd. Kari<m.Mujmal Ushu>l Ahlis Sunnah wal
Jama>’ah fil ‘Aqi>dah. Riyadh: Daar Wathan,1995.
----.Iqtidha> al-Shira>t
al-Mustaqi>m limukha>lafah Asha>b al-Jahi>m.Riyad: Pustaka
Al-Rasyi>d, tt.
Madjid,Nurcholis.Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina, 1995.
----, Khazanah
Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang,1994.
Al-Asfaha>ni,Raghi>b.
Mufradat Al-Fa>dz Al-Qur’a>n.Beirut:
Da>r al-Syamiyyah, 2009.
Al-Bu>thi, Ramadhan.al-Salafiah
Marhalatu zama>niyah muba>rakah.
Beirut: Da>r al-Fikr, tt.
Hawa, Sa’id.Jaulat fi al-Fikihaini
al-Kabir wa al-Akbar. Kairo: Daar al-Salaam, 1993.
Sha>wi,
Sala>h.Al-Tsawa>bitwa Al-Mutaghayyira>t
fi Maisarati al-‘Amal al-Isla>mi> al-Mu’a>shir.Amerika:
Pustaka Sharia Academy of America, 2009.
Siradjuddin.I’tiqad
Ahlu Sunnah wa Al-Jamaah. Jakarta: Pustaka Tarbiyah,2006.
Al-Dzahabi,Syamsyuddin
Muhammad ibn Ahmad ibn Utsman.Siyar A’lam An-Nubala. Beirut: Muasasah
al-Risalah, 1972.
Al-Subki,Ta>j
al-Di>n.Tabaqa>t al-Sya>fi’iyah al-Kubra.Kairo: Da>r
Ihya> al-Kutub al-Arabi, 1964.
Tuaimah,Tabir.Dirāsāt fi
al-Firāq. Riyādh:
Maktabah al-Ma‘ārif, 1983.
Amstron,Tim et.al.
.“Ahlu Sunnah wa Al-Jamaah”.dalam
http://www.dmoz.org diakses pada tanggal 24 Februari 20015.
Watt,W.
Montgomery.The Faith and Practice of Al-Ghazali. Wasington:
One World Publicantions Press,1994.
Jawwaz, Yazid
bin Abdul Qadir.Syarah Akidah Ahlu Sunnah wa Al-Jamaah.
Bogor: Pustaka Imam Syafi’I,2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar