Selasa, 04 September 2018

PEMETAAN PEMIKIRAN AKIDAH AHLU SUNNAH WA AL-JAMAAH ANTARA SALAFIYYAH DAN ASY’ARIYYAH

YadiFahmiArifudin

Sekolah Pasca Sarjana UIKA Bogor
Jl. KH. Sholeh Iskandar Km. 2 Bogor, Jawa Barat 16164
yadifahmi2@gmail.com

Abstract:This study sought to examine the two schools Ahlu Sunnah wa al-Jama'ah, Asha'ira, and Salafiyya that have different characteristics. The research method used is library research method. The researchers found that a School Asha’irah faith is rooted in school imam Shafi'i and Imam Malik, while the Salafi rooted in the school of Imam Ahmad bin Hanbal and Imam Abu Hanifa School. Researchers concluded that the schools of Aqeedah Asha'ira and Salafi, although they often have conflicting opinions but both of them are rooted in the opinion of four schools of fiqh Imam of Ahlu Sunnah wa al-Jama'ah.
Keywords: Mind Mapping, Sunni, Aqeedah, Salafi, and Asha’ira.
Abstrak:Penelitian ini berusaha untuk mengkaji tentang dua mazhab akidah Ahlu Sunnah wa Al-Jamaah yaitu mazhab Asy’ariyyah dan Salafiyya yang mempunyai karakteristik yang berbeda. Metode yang digunakan adalah metode studi pustaka. Peneliti menemukan bahwa Mazhab Asy’riyyah merupakan mazhab akidah yang bersumber pada mazhab imam Syafi’I dan Imam Malik, sedangkan Salafiyyah bersumber pada mazhab Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Abu Hanifah. dan Salafiyyah. Dengan demikian peneliti menyimpulkan bahwa mazhab aqidah Asy’ariyyah dan Salafiyyah meskipun kerap memiliki pendapat yang bersebrangan namun keduanya bersumberkan pada mazhab empat Imam MazhabFiqih Ahlu Sunnah wa Al-Jamaah.
Kata Kunci: Pemetaan Pemikiran, Ahlu Sunnah wa Al-Jamaah, Salafiyyah, dan Asy’ariyyah.

A.  Pendahuluan
Dalam kajian sejarah pemetaan konflik Islam, dimulai dengan adanya dikotomi antara syi’ah dan sunni. Sejarah munculnya Syiah tidak lepas dari perdebatan tentang khalifah pengganti Rasulullah. Kalangan Ansār mengklaim golongan merekalah yang berhak memegang amanat itu, sementara kalangan Muhajirin mengklaim sebaliknya. Di pihak yang lain, golongan yang mendukung ‘Ali ibn Abī Talib yang didukung bani Hāshim, Al-Miqdād ibn al-Aswad, Salman al-Farisi, Abū Dhar al-Giffāri yang mengkristal muncul ketika akhir pemerintahan ‘Uthmān ibn ‘Affān, dan berkembang pesat ketika ‘Ali ibn Abī Talib memegang kekuasaan sebagai khalifah.(Tuaimah, 1983:10)
Awalnya, Syiah bukan mazhab dalam konteks keagamaan melainkan muncul sebagai kekuatan politik yang beranggapan bahwa ‘Ali ibn Abī Talib adalah seorang yang dirampas kepemimpinannya oleh Abū Bakr, ‘Umar, dan ‘Uthmān. Namun pada perkembangannya golongan ini memiliki pandangan keagamaan di bidang akidah dan hukum, yang kemudian berkembang menjadi suatu aliran besar dengan berbagai sekte.(Al-Shak’ah, 1994:154).
Nurcholish Madjid menduga Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Abbas merupakan perintis gerakan kesatuan umat Islam dalam satu jamaah (AhluSunnahwa Al-Jamaah). Kedua orang ini dikenal sebagai sahabat Nabi Muhammad SAW yang senantiasa memelihara sunah-sunah Rasulullah saw.(Madjid, 1994:16-17). Dudung Abdurahman berpendapat bahwa konsepsi politik Ahlussunnah dihubungkan dengan orang-orang Islam yang menerima kepemimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan dan serangkaian khalifah  sesudahnya. Sedangkan yang menerima keputusan bersama di antara umat Islam (dengan syarat orang Islam) disebut politik Khawarij (Abdurrahman, 2014:46).
Fenomena konflik politik kemudian bergeser dan mengkristal menjadi faham pemikiran keagamaan dalam hal ini bidang tauhid. Syi’ah di satu sisi dengan Sunni di sisi lainnya ternyata berkembang dan menimbulkan konflik pemikiran lainnya. Pemikiran tauhid di kalangan sunni direpresentasikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal sebagai golongansalafiyyah dan Imam ‘Asyari sebagai golongan Asy’ariyyah. Kelompok yang terakhir cenderung lebih permisif dalam perkara akidah terhadap terhadap segala bentuk praktik keagamaan yang baru diluar ibadah mahdzah. Hal ini berbeda dengan golongan Salafiyyah yang cenderung keras terhadap sebagala bentuk praktik keagaman yang baru meski dianggap sebagai perkara yang berada diluar ibadah mahdzah Pemikiran Ahmad bin Hanbal kemudian dikembangkan oleh al-Thahawi, Ibnu Taimiyah dan Ibn Qayyim. Kristalisasi pemikiran Hanbali semakin terlihat setelah dikembangkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab yang mengusung pemurnian agama dan cenderung keras terhadap mereka yang bertentangan dengan mazhabnya.
Tulisan ini akan meneliti tentang pemikiran tauhid yang terjadi pada kelompok sunni. Mazhab Salafiyyah dan Asy’ariyyahmenjadi pembahasan yang diperdebatkan pada tulisan ini.

B.     Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah
Sulit sekali menemukan, ulama mana yang pertama kali meletakkan terminologiAhlu Sunnah wa Al-Jamaah sebagai sebuah mazhab pemikiran teologi. Beberapa ulama berpendapat bawa Ahlu Sunnah wa al-Jamaah sudah ada dan dikenal semenjak periode pertama umat Islam. Ada pula yang berpendapat bahwa kata baru muncul dan dideklarasikan pada masa Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur Al-Maturidi. Secara ontology, istilah AhluSunnahwa Al-Jamaahlahir dan dideklarasikan oleh Abu Hasan Al-Asy’ari, sebagai satu bentuk sikap perlawanan terhadap pemikiran-pemikiran yang menyimpang dari ajaran Islam yang seharusnya (Muhammadiyyah, Fatoni, 2004:88-89).
Sejarah pemikiran Islam kemudian mencatat bahwa AhluSunnahwa Al-Jamaahpertama kali ditemukan dalam sebuah hadits Ibnu ‘Abbas ketika menafsirkan Al-Qur’an surat Ali Imran: 106 (Amstrong, 2015:24). Abdullah ibn Abbas (Al-‘Asqala>ni, 2008: 227-246). menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kelompok yang mukanya menjadi putih adalah kelompok ahlu Ahlu Sunnah wa Al-Jamaah (Ibn Katsir, 1998:92). Bahkan sudah sangat populer digunakan oleh para ulama salaf sebelum munculnya AbuHasan Al-Asy’ari (Jawwaz, 2004: 42-43).
AhluSunnahwa Al-Jamaahlahir dan dideklarasikan oleh Abu Hasan Al-Asy’ari, sebagai satu bentuk sikap perlawanan terhadap pemikiran-pemikiran yang menyimpang dari ajaran Islam yang seharusnya (Muhammadiyah, Fatoni, 2004:889-99). Dalam kajian linguistik Arab, kata sunnah bermakna jalan atau perjalanan hidup yang baik atau yang buruk (Ibn Mandzur, 2010, 225). Sedangkan al-Jama>’ah secara bahasa bermakna sejumlah besar manusia yang dibentuk oleh keinginan individu (Al-‘Aql, 1995:23). Al-Jama>’ah juga bermakna mengumpulkan, sepakat, dan berkumpul yang merupakan antonim dari kata faraqa yang berarti perpecahan (Ibn Nadhim, tt: 790-806).
            Sebagian ulama berpendapat bahwa istilah Ahlu Sunnah wa al-Jamaahtidak dapat dilepaskan dari makna generiknya baik bermakna ahlul hadits maupun segolongan orang yang mengikut sunah Rasulullah dan para sahabatnya dari segala aspek. Sebagaimana yang di ungkapkan oleh Ibn Taimiyyah Ahlu Sunnah wa al-Jamaah adalah ahlu hadits namun tidak hanya yang mendengar, mencatat dan meriwayatkan hadits tetapi juga  yang berhak dengan menjaganya, mengenalnya, memahaminya, secara lahir dan batin. Ahlu sunnah itu adalah para Sahabat Rasul dan setiap orang yang mengikuti manhaj para Tabiin yang terpilih, kemudian Asha>b al-Hadi>st dan yang mengikutinya (Ibn Taimiyyah, tt: 271). Kelompok ini dikenal dengan Salafiyun, yaitu kelompok yang lebih mengutamakan dalil-dalil naql (naskah syariat) dibandingkan dengan dalil-dalil aql (logika), mendahulukan ma’tsu>r dari pada ma’qu>l, mendahulukan riwa>yah dari pada dira>yah (Muhammadiyah, Fathoni, 2004, 95).
Sebagian lainya berpendapat bahwa istilah Ahlu Sunnah wa al-Jamaah tidak memiliki korelasi dengan maknanya secara terminologis, karena yang dimaksudkan adalah salah satu mazhab pemikiran al-Zabidi dalam menerjemahkan pemikiran Imam al-Ghazali (450-505 H) (Watt, 2000, 9-12) adalah pemikiran Nashiru al-Sunnah (penyelamat sunnah Nabi `Abu Hasan al-Asy’ari (260-324 H) dan Abu Mansur al-Maturidi (w 333) (Al-Za>bidi>, 2006: 3).
Ahlu Sunnah wa Al-Jamaah berkembang bersamaan dengan tokoh-tokoh imam mazhab yaitu Abu Hanifah (80-150), Malik  (183) Syafi’i (150-204) dan Hanbali (164-241). Imam mazhab yang terakhir dipandang mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan corak akidahAhlu Sunnah wa Al-Jamaah. Keempat imam tersebut dinisbahkan sebagai imam mazhab sunni yang membedakanya dengan Syi’ah (Al-Dzahabi, 1972, 177-1999). Menurut al-Beiruti mazhab ahlu sunnah yang ada pada saat ini terbagi menjadi tiga kelompok yang dapat dikenali dari mazhabfikih yang di anutnya. Abu Hasan al-Asy’ari yang merupakan Imam kelompok Asy’ariyah adalah penganut madzab al-Malikiyah (Imam Malik) dan Syafi’iyah (Imam Syafi’i). sedangkan Abu Manshur al-Maturidi menurut al-Beiruti berpegang kepada mazhab Hanafiyah (Imam Hanafi). Terakhir adalah kelompok Atsariyah yang merupakan penganut paham Hana>bilah (Ibn Darwi>s, tt:77).
Abdul Qahir al-Baghdadi menegaskan bahwa Ahlu Sunnah wa Al-Jamaah   itu terdiri dari dua kelompok yang terdiri dari; (1) ahlu ra’yi dan hadits pengikut madzhab Asy’ariyah dan Maturidiyah, (2) para ahli fikih pengikut mazhab Hanabilah (Al-Baghdadi, tt:19). Pendapat lain mengemukakan, bahwa selain golongan ahli kala>m dan atsariyah, kelompok lain juga masuk dalam kategorisasi ahlu sunnah, yaitu kelompok sufi (tasawuf), ahlu kasyf wa al-wijdan, atau Ahli ‘Amal.Pendapat ini di sampaikan oleh beberapa ahli seperti Abdul Qahir al-Baghdadi, Tajjuddin al-Subki, al-Dardari (1127H) dan al-Zabidi (Sinan, Al-Anjari, 2008: 81). Berikut ini adalah silsilah pemikiran ahlussunnahwaljama’ah.




C.    Madzhab Salafiyah
Menurut Ibn Mandzur, kata al-Salaf  secara etimologis mempunyai arti yang terdahulu, nenek moyang, yang lebih tua, atau yang lebih utama (Ibn Mandzur, 2010: 331). Salim Al-Hilali berpendapat bahwa Salafiyu>n di idlafatkan pada mereka yang mengikuti manhaj salaf al-Shalih dari para Shabat, Tabi’in, dan Tabi’u Tabi’in. Diantara ciri khas mazhab Salafiyah adalah konsep tauhidnya yang dikenal dengan konsep Utsul al-Tsalatsah, yang mencakup di dalamnya pembahasan mengenai keimanan kepada Allah yang meliputi Asma wa sifat, rububiyah, dan uluhiyah (Utsman, 1981:21).
Salafiyah yang dikenal saat ini sudah berwujud satu mazhab pemikiran, khususnya dalam permasalahan akidah dan tauhid. Menurut Ramadhan Al-ButhiSalafiyah yang ada sekarang merupakan suatu  mazhab keislaman. Keberadaannya sama halnya dengan golongan Muhammadiyah yang identik dengan suatu golongan tertentu dalam Islam, bukan memiliki arti pengikut Nabi Muhammad SAW secara umum. Namun mereka yang melihat Islam dengan cara pandangan baru, atau mengusung modernisasi Islam. Demikian halnya Salafiyah adalah suatu mazhab  yang memiliki konsep tersendiri dalam memahami Islam (Al-Buthi, 1988: 222).
Mazhab Salafiyah diusung oleh Imam IbnTaimiyyah sebagai pengikut mazhab Hanbali seiring dengan jatuhnya pemerintahan kekhalifahan DaulahAbbasiyah di Baghdad oleh tentara Tartar pada tahun 656H. IbnTaimiyyah mengajak umat Islam untuk kembali menggunakan sistematika berfikir para ulama Salaf, menegakkan sunnah, menegakkan akidah Salaf, menegakkan minhaj ulama Salaf dan menghindari perbuatan bidah untuk mewujudkan kebangkitan umat Islam. Pemikiran Ibn Taimiyyah ini kemudian mempengaruhi beberapa ulama umat Islam setelahnya seperti al-Dzahabi, danIbnQayyim al-Jauzi ( Al-Saqaf, 2013: 10-11).
Menurut Ibn Qayyim al-Jauzi imam ibnTaimiyyah adalah syeikh Islam dan umat Islam, ia berdiri untuk menjelaskan kebenaran, penolong agama Islam, seorang dai kepada Allah dan Rasul-Nya, mujahid di jalan Allah, sorang menghidupkan sunah saat sebelumnya hanya sebatas di pelajari...ia adalah seorang syekh yang ahli ibadah, orang yang zuhud, hafiz ribuan hadis (Ibn Yusuf, 1985: 33-34). Penganut Mazhab Salafiyyah adalah Ahlu Sunah wa Al-Jamaah yang tidak bersedia terlibat dalam pergulatan pemikiran para ahli kalam. Mazhab ini memilih untuk kembali kepada ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah, dengan meyakininya secara utuh dan tanpa melibatkan akal dalam memahami hal-hal yang ghaib. Mereka dikenal dengan kelompok puritarian sebagaimana yang dilakukan oleh Imam al-Tahawi, Ibn Taimiyyah, Ibn Hazm. Sikap Imam al-T}aha>wi pada dasarnya bukan merupakan suatu hal yang baru, karena sikap tersebut adalah sikap yang diambil oleh para ulama haditssebelumnya seperti halnya Imam Ahmad. Namun demikian umat Islam sekarang lebih mengenalnya dengan Akidah al-Tahawiyah (Al-Sudais, 2008: 9-10) Pemikiran Ahmad ibn Hanbal, al-T>}aha>wi> dan Ibn Taimiyah (salafiyyah) kemudian dikembangkan oleh Muhammad ibn Abdil Wahhab di wilayah Hijaz dengan dukungan politis kerajaan Saudi (Mukti Ali, 1995, 43).
  Terdapat beberapa permasalahan yang menjadi ciri khas mazhab Salafiyah yang berkaitan dengan tarekat, dan amaliah keIslaman seperti ziarah kubur, tawasul, syafaat, tabaruk, maulid nabi.  Berikut penjelasannya:
a)        Ziarah Kubur, para Salafiyah meyakini bahwa ziarah kubur merupakan suatu hal yang diperbolehkan untuk mengingat kematian. Akan tetapi, Salafiyah meyakini bahwa membangun  masjid atau candi di atas kubur, tawaf  mengelilingi kuburan, menghadap kuburan sambil meminta dan berdoa kepada mayit berhadap sang mayit akan menunaikan  hajat nya, nazar juga berkurban dengan menyebut nama ahli kubur, berziarah di setiap hari besar,  dan  merayakan  hari kelahiran sang mayit menyelisihi syariat, atau  tidak ditemukan pengamalanya dalam naskah-naskah syariat (Utsaimin, 2008: 227).
b)        Tawasul, para ulama Salafiyah menganggap bahwa tawasul terhadap para nabi merupakan perkara yang diperbolehkan dari beberapa aspek, bertawasul kepada Allah dengan jalan  mencintai para nabi, dengan mengikuti ajarannya, menaati apa yang  disampaikannya dari Allah. Para ulama Salafiyah memperbolehkan untuk bertawasulkepada Allah melalui doa para nabi saat hidupnya, demikian pula bertawasul untuk mendapatkan syafaat nya di akhirat di saat hidupnya. Namun demikian para ulama Salafiyah berpendapat bahwa ber-tawasul kepada para nabi dan para ulama yang masih hidup merupakan suatu ibadah yang tidak di perintahkan dalam Islam, tidak juga ditemukan naskah-naskah syariat yang melarangnya (Ibn Taimiyyah, 1999: 35,42).
c)        Merayakan maulid Nabi. Salafiyah meyakini bahwa merayakan maulid nabi adalah perkara yang bidah yang tidak di perintahkan dalam Islam. Merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW tidak pernah dilakukan oleh salah seorang Salafshalih, bahkan merupakan perilaku menyerupai agama lain seperti agama nasrani (Al-‘Aql, tt: 619-620).

D.    MazhabAsy’ariah dan Maturidiah
Madzhab Asy’ariah dipelopori oleh Imam Abu Hasan Al-Asy’ari (Al-Subki, 1964: 6).  Imam Jalal Al-Diwani menjelaskan  alasan yang melandasi ditetapkanya Asy’ariyyah sebagai bagian dari Ahlu Sunnah. Firqah Al-Najiyah adalah mereka yang mengikuti (kaidah) Ushul Syeikh Abi Hasan Al-Asy’ari, yang dalam akidah mereka berpegang teguh pada hadits-hadits sahih yang dinukil dari para sahabat-Nya, dan tidak memperbolehkan pendzahiranya kecuali dalam keadaan dzarurat, dan juga tidak menuhankan akalnya sebagaimana golongan muktazilah (Al-Diwa>ni, tt: 43).
Ibn Hajar al-Haitsami menambahkan alasan yang melandasi digolongkanya Asy’ariah pada Ahlu Sunnah wa Al-Jama’ah. Ketika dimintai pendapat tentang imam Al-Asy’ari, dan beberapa ulama lainya al-Haitsami berpendapat bahwa mereka adalah para pemimpin agama diantara para ulama Islam, maka wajib hukumnya mengikuti mereka, (hal tersebut) karena usahanya mendirikan syariat (Islam) memperjelas setiap permasalahan, menolak perkara syubhat (Al-Subki, 1964: 86).
Pendapat yang serupa pun di ungkap kan oleh Imam Tajuddin al-Subki. Tajuddin Mengutip pendapat Taqiyu al-Di>n al-Subki, bahwa Asy’ariyah selalu mereferensikan pendapatnya kepada Abu Bakar, Umar ra karena akidah keduanya merupakanr dari akidah representasi dari para sahabat Nabi saw (Al-Subki, 1964: 3, 365). Keberadaan Abu Hasan Al-Asy’ari sebagai bagian dari Ahlu Sunnah wa Al-Jamaah terlihat dari banyaknya para ulama penganut madzhab  fiqih empat madzhab yang juga mengikuti jejak Imam Abu Hasan Al-Asy’ari, seperti halnya para penganut madzhab Imam Syafi’i. Menurut Al-Syairazi, Abu Hasan al-Asy’ari (adalah) Imam Ahlu Sunnah wa Al-Jama’ah, dan (Imam) mayoritas penganut madzhab Imam Syafi’i, dan madzhabnya merupakan madzhab para pembawa kebenaran (Al-Subki, tt: 86).
Ibn Darwi>s berpendapat bahwa Abu Hasan Al-Asy’ari merupakan penganut madzhab Imam Malik dan Imam Syafi’i. Menurut Al-Beiruti, Malikiah (penganut madzhab Imam Malik) dan Syafi’iyah (penganut madzhab Imam Syafi’i) mayoritasnya adalah Asy’ariah penganut mazhab akidah Abu Hasan al-Asya’ari (Ibn Darw>s, tt: 77). Adapun Ibn Hajar al-Haitsami memkhususkan Abu Hasan Al-Asy’ari sebagai pemimpin Syafi’iyah. Menurut Al-Haitsami, bahwa pemimpin Ahlu Sunnah wa Al-Jama’ah dalam Ilmu Kalam dua orang, salah satunya adalah Syafi’iah yaitu Abu Hasan al-Asy’ari (Al-Haitsami, 1970: 33).
Pemikiran al-Asy’ari mendapat dukungan intelektual dari ulama sesudahnya seperti Abu al-Muzzaffar al-Isfrayini (471H), Ta>j al-din al-Subki (727-771H), Jala>l al-Din al-Diwani (830-918H), Ibn Hajar al-Haitsami (974-909H), Ibn Alwi al-Hadad (1044-1132H), Muhammad ibn Darwis al-Hu>t al-Beiru>ti> (1262-1336H) yang berpendapat bahwa yang dimaksud kelompok akidahAhlu Sunnah wa Al-Jamaah   adalah kelompok yang mengikuti pemikiran Imam Abu Hasan al-Asy’ari (Al-Isfra>yi>ni>, 1973: 111).
Terdapat beragam cara pandang para ulama yang menyatakan bahwa al-Asyari adalah termasuk kelompok ahlu sunnah wal jamaah. Keberpihakan Al-Isfrayini terhadap al-Asy’ariyah didasarkan pada ketegasan al-Asy’ari dalam menolak terhadap pendapat yang menyesatkan dan membidahkan kelompok Asy’ariyah (Al-Isfra>yi>ni>, 1973: 111), Tajuddin al-Subki lebih melihat karakteristik akidah al-Asy’ari yang mempunyai kesamaan dengan para sahabat Rasul saw seperti Abu Bakar dan Umar bin Khattab, juga para sahabat lainya (Al-Subki, 1964: 365). Sedangkan Imam al-Haitsami memandang al-Asy’ari  sebagai satu kelompok Ahlu Sunnah wa Al-Jamaah   dilihat dari motif pergerakan dakwahnya dalam menyelamatkan syariat, dan menolak ahli bidah dan  menganggap sesat bagi pihak yang menyatakan Asy’ariyah sesat (Al-Haitsami, 1970: 103). Sikap Jalal al-Diwa>ni yang mendukung al-Asy’ari karena kelompok tersebut berpegang teguh kepada sabda Rasulullah dan para Sahabatnya, tidak memperdebatkanya kecuali dalam keadaan mendesak, dan tidak menjunjung tinggi akal seperti halnya kelomok Mu’tazilah (Al-Diwa>ni, tt: 43). Alasan yang sama juga dikemukakan oleh Ibn ‘Ali al-Hadad, bahkan menurutnya paham Asy’ariyyah juga diikuti oleh sejumlah ahli tasawuf (Al-Hadda>d, tt: 67-68). Demikian juga menurut Al-Beiruti dengan menggunakan redaksi yang berbeda bahwa Asy’ariyah termasuk firqah najiyah anlisa yang dipergunakan oleh al-Asy’ari menyelaraskan antara dalil aqli dan naqli (Nasution, 1986: 64).
Selain pemikiran Abu Hasan al-Asy’ari  yang muncul dan berkembang di Iraq, al-Maturidi (w. 333) juga mengembangkan teori Ahlu Sunnah wa Al-Jamaah   di Samarqan dengan menggunakan pendekatan rasio ra’yu dan naskah (naql) (Nasution, 1986: 64). Pengakuan terhadap al-Maturidi sebagai bagian dari ahlu sunnah waljamaah dikemukakan oleh Al-Zabidi (1145-1205H) dalam menerjemahkan pemikiran Imam al-Ghazali (450-505 H) (Watt, 2000: 9-12), bahwa kelompok ahlu sunnah yang dimaksudkan oleh Imam al-Ghazali adalah kelompok pengikut pemikiran ImamNaskahiru al-Sunnah (penyelamat sunnah Nabi) Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi (Siradjuddin, 2006: 3). Al-Haitsami pun menambahkan pendapat az-Zabidi dan pendapatnya yang pertama bahwa yang dimaksudkan dengan Ahli Sunah adalah orang-orang yang berada pada apa yang ada pada imam Ahlu Sunnah wa Al-Jamaah   Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi (Al-Haitsami, 1970: 82).
Dari perkembangan tokoh-tokoh tersebut, Abu Hasan al-Asy’ari menurut Nurcholis Madjid cenderung mendominasi teologi Islam dibandingkan dengan tokoh lainnya. Menurut Mustafa Ceric, al-‘Asyari cenderung memberikan doktrin untuk percaya seperti halnya pendahulu salaf yaitu Ahmad ibn Hanbal hal ini berbeda dengan al-Maturidi yang berusaha memperlihatkan teologinya untuk mengajak “bagaimana untuk mempercayai” karena pemikiran al-Maturidi lebih dekat dengan akal dibandingkan dengannaskah. Di sisi lain, sosok al-Ghozali yang mengusung secara eksplisit ajaran al-‘Asyari menjadi spirit tersendiri bagi perkembangan al-Asy’ari (Ceric, 1995: 23). Sebaliknya al-Maturidi cenderung lebih mengedepankan aql dibandingkan naskah dan pemikirannya lebih dekat dengan teologi Abu Hanifah sebagaimana yang terdapat ada fikih akbar. Sedangkan, pemikiran Ahmad ibn Hanbal dan T}aha>wi> dikembangkan oleh Ibn Taimiyyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab  yang kemudian sering dijuluki dengan Salafi Wahabi (Jumu’ah, 2008:18).
Beberapa ahli dan ulama modern mengindentikan kelompok ahlu sunnah sebagai kelompok yang dimotori oleh Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Musa al-Maturidi. Hasan Abu Ayub mengaritikan ahlu sunnah adalah Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi beserta masing-masing pengikutnya. Menurutnya kedua ulama tersebut layak di golongkan sebagai Ahlu Sunnah wa Al-Jamaah   karena dari segi pemahaman akidah al-Asy’ari dan al-Maturidi menganut pemahaman akidah salaf al-Shalih yang bersumber kepada a-Qur’an dan al-Sunnah. Abu Hasan dan Abu Manshur meyakini bahwa ayat-ayat al-Mutasyabih, merupakan suatu bentuk gaya bahasa yang tidak bertentangan dengan akal. Namun demikian jika maknanya belum bisa dipahami dengan akal maka, maka tawaquf dan tafwidlah jalan keluarnya (Hasan, 1983:229).
Sayyid Hawa berpendapat bahwa identifikasi ahlu sunnah yang mengerucut pada satu Imam merupakan suatu hal yang lumrah dan logis, bukan suatu hal yang mengada-ada hal tersebut sama sebaimana halnya yang terjadi dalam bidang-bidang keilmuan lainya seperti fikih, tasawuf, dan suluk. Kecenderungan masyarakat terhadap satu tokoh tertentu dalam satu bidang keilmuan sudah berlangsung dari masa kemasa.  Seperti halnya dalam bidang fikih yang mempunyai imam yang menghasilkan karya tulis yang terkemuka hingga saat ini. Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Musa al-Asy’ari juga dikenal sengai Imam Ahlu Sunnah wa Al-Jamaah   dalam bidang akidah. Hal tersebut  didasarkan pada pemikiran mereka yang belandaskan Al-Qur’an dan Sunah juga Ijma para sahabat (Hawa, 1993: 3-22).
Menurut Abu Hasan al-Nadwi berpendat bahwa pengaruh mereka dalam perkembangan pemikiran dunia Islam sangatlah besar, terutama dalam usaha mengembalikan pemikiran masyarakat dari pemahaman Mutazialah kepada pemahaman yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunah. Al-Nadwi menambahkan bahwa perjuangan al-Asy’ari dan al-Maturidi adalah perjuangan yang dilandasi dengan semangat untuk mengambalikan semua permasalalahan yang ada, khususnya masalah yang berkaitan dengan akidah kepada keberlangsungan dan kemuliaan syariat Alam, sehingga pertentangan yang terjadi dengan para filosof dan kelompok Mu’tazilah pada saat itu, sudah menjadi satu konsekwensi perjuangan mereka (Al-Nadwi, 2007: 137).
Beberapa kelompok salaf menganggap asy’ariyah dan maturidiyah sebagai suatu golongan yang sesat, hal itu disebabkan karena kedua kelompok tersebut menggunakan metode takwil dalam memahami ayat-ayat al-Mutasyabih. Menurutnya pelabelan tersebut tidaklah tepat, karena metode takwil tersendiri adalah metode yang digunakan oleh mayoritas ulama salaf (Sinan, 2008:102). Hamad mengutip pendapat Imam Zarkasyi  yang mengatakan bahwa takwil merupakan metode penafsiran ayat-ayat al-Mutasyabih yang dinukil dari para Sahabat, seperti Ibn Mas’ud dan Ibn ‘Abbass. Sebaliknya Imam Zarkasyipun menambahkan bahwa justru ketika ayat-ayat tersebut dipahami secara zahir dimana Allah di serupakan dengan makhluk-Nya maka hal seperti itulah yang disebut dengan sesuatu yang bathil (Al-Zarkasy, 2006: 207). Imam Nawawi menambahkan bahwa mazhab takwil adalah salah satu mazhab kebanyakan ahli kalam dan mayoritas ulama salaf seperti halnya dilakukan oleh Imam Malik dan al-Auzai’(Nawawi, 1929: 36).
Al-Ghazali berpendapat bahwa metode takwil bukan sesuatu hal yang baru, namun merupakan perkara yang umumnya dilakukan oleh masyarakat arab di generasi pertama umat Islam. Hanya saja pada saat itu umat Islam tidak mendeklarasikanya sebagai satu metode dalam menafsirkan ayat al-Mutasyabih, namun hanya sebagai perkara yang umumnya difahami. Masyarakat muslim arab sangat memahami bahwa yang dimaksudkan ayat al-Mutasyabih adalah satu bentuk pemajazan bukan sesuatu yang bermakna hakiki. Seperti halnya dalil yang menyatakan bahwah Ka’bah adalah Rumah Allah (Baitullah), tanpa ada penjelasan masyarakat arab sudah mehamai bahwa maksud dari dalil tersebut bukan bermakna bahwa tinggal di dalam Ka’bah sebagaimana manusia dinggal di dalam rumahnya (tidur, makan, dll), namun memiliki arti lain, yaitu satu bentuk pemuliaan terhadap ka’bah. Perkara tersebut hanya akan menjadi permasalahan  jika didengar oleh seorang anak kecil pada masa itu (Al-Ghazali, 1998: 49). Menurut Ibn Taimiyyah berpendapat behwa permasalahan mengenai takwil hakekatnya merupakan pemasalahan ijtihadiah kecuali dalam perkara-perkara tertentu yang mengarah pada penolakan apa yang sudah menjadi kesepakatan diataran para ulama (Ibn Taimiyyah, 2004: 35, 395).
Salah satu konsep akidah yang menjadi ciri khas mazhab Asy’ariyyah adalah adanya satu rumusan sifat-sifat Allah yang diambil dari ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat Muhkam, untuk dijadikan landasan dalam memahami ayat-ayat Mutasyabih, yang dikenal dengan sifat 20 (Abbas, 2008: 28-35/ Al-Baijuri, tt: 82). Konsep tersebut hakikatnya di rumuskan oleh Imam Sanusi hasil penggabungan konsep akidah Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dalam  memahami ayat-ayat sifat Mutasyabih yang berjumlah 13 sifat, dengan  konsep Imam Abu Manshur al-Maturidi yang telah merumuskan delapan sifat Allah (Al-Baijuri, tt: 61). 
            Para Ahli berpendapat bahwa konsep mengenai sifat 20 adalah konsep yang dirumuskan dan diperkenalkan pertama kali oleh Imam Muhammad bin Yusuf Al- Sanusi. Sehingga rumusan ini juga dikenal dengan Istilah Akidah Sanusiah. Konsep tersebut dari analogi sederhana mengenai sistematika berfikir logis. jumlah dua puluh sifat itu hakekatnya merupakan jumlah rumusan sifat wajib bagi Allah. Sedangkan sifat Mustahil adalah sifat yang menjadi lawan dari sifat wajib yang juga berjumlah 20 sifat. Sedangkan sifat jaiz hanya satu sifat yaitu mengerjakan yang apa dia kehendaki atau meninggalkanya. Dua puluh sifat wajib dan mustahil itu kemudian di klasifikasikan kembali menjadi empat kelompok, yaitu sifat nafsi>ah, salbi>ah, maknawi>ah, dan ma’a>niah (Ardae, 2014: 53).
Berikut adalah pengertian dari ke empat aspek sifat dua puluh Aqidah Sanusiah:
a.       Sifat Nafsiah adalah  sifat wajib bagi dzat Allah selama Allah itu dzat, yaitu sifat Wuju>d (ada)
b.      Sifat Salbiah adalah sifat yang berfungsi sebagai landsan untuk menafikan  sifat-sifat yang tidak layak  bagi  ke Agungan-Nya, yaitu sifat qidam (terdahulu), baqa> (kekal), mukhalafatuhu lil hawadits (berbeda dengan makhluk-Nya), qiyamuhu binafsihi (berdiri sendiri), wahdaniyyah (esa/ tunggal).
c.       Sifat Ma’a>ni  adalah sifat Allah yang memiliki keserupaan dengan sifat yang dimiliki oleh makhluk-Nya, yaitu qudrah (berkuasa), ira>dah (berkehendak), ilmu (tahu), hayat (hidup), sama’ (mendengar), basha>r (melihat), dan kalam (berkata-kata).
d.      Sifat Ma’nawi>ah adalah sifat yang menyerupai ke tujuh sifat Ma’ani. Disebut dengan sifat ma’nawi>ah karena pensifatanya merupakan turunan dari ketujuh sifat Ma’ani, yaitu Qadirun (yang berkuasa), ‘Alimun (yang berkehendak), Hayyun (yang hidup), Sami’un (yang mendengar), Bashirun (yang melihat), dan Mutakalimun (yang berkata-kata) (Al-Dasuki, tt: 74-161).

E.     Legalitas Distingsi Pemikiran
Perbedaan mendasar dalam menyikapi beragamnya pemikiran masalah tauhid terletak dari dua kategori permasalahan, yang pertama bersifat pokok dan yang kedua cenderung merupakan bagian dari yang pokok.Abdurrahman Abdul Khaliq membagi permasalahan akidah pada  dua macamTsa>bit dan Mughayirat (Abdul Khalik, tt: 65). Pendapat serupa di ungkapkan oleh Sahalah Shawi yang mengistilahkanya sebagai Tsawabit dan Mutaghayyirat (Sha>wi>, 2009: 17, 20). Sedangkan Al-Humaidi mengistilahkanya dengan Ushul dan Juz’iyyah (Al-Humaidi, 2000: 288) adapun Hamad Sinan mengistilahkan nya dengan perkara Ushul dan Furu’ (Abdul Latif, 2007: 47).
Abdurrahman Abdul Khaliq berpendapat bahwa yang dimaksud dengan yang Tsabit adalah perkara yang sudah jelas ketetapannya sehingga pada hal ini seorang Muslim tidak dapat melakukan ijtihad apa pun di dalamnya atau bahkan berbeda pendapat tentangnya. Sedangkan Mutaghayyirat adalah kebalikannya yaitu perkara yang diperbolehkan di dalamnya ijtihad (Abdul Khalik, 1997: 24).
HamadSinan menjelaskan lebih rinci Ushul dalam permasalahan akidah.UshulSunnah adalah berhubungan dengan apa yang dipegang teguh oleh para sahabat Nabi SAW. Salah Golongan yang keluar dari AhluSunnahwa Al-Jamaah contohnya adalah syiah (Rafidhah), hal tersebut disebabkan karena Syiah banyak menentang hadis Nabi dan Al-Qur’an, demikian pula menentang para ulama salaf, dan menyelisihi Jumhur Ulama dari segala aspek. Kejauhan Syiah dari minhaj yang digariskan oleh para ualamSalaf menjadikannya keluar dari AhluSunnahwa Al-Jamaah. Ringkasnya, AhluSunnahwa al-Jamaah adalah mereka yang mengikuti Al-Qur’an, Kitab Allah, dan Ijma’ Shalaf al-Sholeh baik dari aspek keyakinan maupun aspek praktis perbibadatan. Mereka yang tidak mengikuti ketiga hal diatas, maka ia tekah dianggap keluar dari ajaran AhluSunnahwa Al-Jamaah atau termasuk golongan pelaku bidah (Al-Hulaibi, tt: 2).
Dari penjelasan diatas peneliti menyimpulkan bahwa Ushul, Tsabit, atau Tsawabit terbagi kedalam dua macam yaitu Ushuluddin, dan Ushul Ahlu Sunnah wa Al-Jama’ah. Ushuluddin adalah perkara yang menyangkut dasar keimanan, sebagai pembatas antara mereka yang Muslim dan Non Muslim. Sedangkan UshulAhluSunnahwa Al-Jamaah adalah perkara pokok dalam akidah AhluSunnahwa Al-Jama’ah, yaitu suatu batasan yang dapat membedakan mana yang termasuk penganut mazhab AhluSunnahwa Al-Jamaah atau penganut bidah  (Al-Mumaidi, tt: 288).
Ushuluddin adalah apa yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya secara umum yang ketetapannya sangat dipahami dan tidak memerlukan penjelasan lanjutan, seperti halnya iman terhadap wahdaniyah Allah, kenabian Nabi Muhammad, keberadaan hari kebangkitan, dan pembalasan, kewajiban shalat, kewajiban zakat, keharaman khamar, dan larangan berbuat syirik (Sha>wi>, 2009: 129-164). Dari definisi di atas dapat lah di pahami bahwa perkara Ushuluddin adalah ketetapan-ketetapan yang berasal dari dalil yang bersifat jelas, qathibaik secara wurud maupun dilalahnya.Qath’iwurud berhubungan dengan ke otentikan dalil, kuatnya penjagaan dalil sehingga menghilangkan keraguan akan orisinalitas dalil, dan kepalsuanya dianggap perkara yang mustahil.AdapunQathiDala>lahyaitu dalil yang menunjukan pada suatu pemahaman makna yang spesifik dan tidak memerlukan takwil atau dalil lainya untuk memperjelasnya (Khallaf, 1956: 34-35).
Ushul Ahlu Sunnah wa Al-Jamaah adalah yang disepakati oleh para sahabat secara ijma’ dari proses memahami al-Qur’an dan Hadist yang memiliki sifat dzanni pada aspek wurud maupun dala>lahnya sehingga membutuhkan ijtihad para sahabat, namun tetap memiliki aspek qath’i yang memudahkannya untuk disepakati secara ijma’. Dengan demikian Menurut Ibn Hanbal sumber utama Ushul Ahlu Sunnah wa al-Jamaah secara umum adalah al-Qur’an, Sunah dan Ijma’.Pemikirannya yang menyimpang dan disebut sebagai Ahli bida’ah dan orang-orang yang sesat (Sha>wi>, 2008: 34-35).
Dimensi Furu atau Mutaghayirat, menurut Abdurrahman Abdul Khaliq adalah suatu permasalahan yang tidak ditemukan ketetapan pastinya, tidak diatur secara spesifik implementasinya, namun diperintahkan atau dilarang secara general dalam nash-nash yang bersifat tsabit, mempunyai kekuatan hukum tetap seperti al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’.
Hamad Sinan mengistilahkan sebagai perkara Furu’ Akidah, yang dipahami sebagai satu dimensi permasalahan yang berada diluar permasalahan Ushuluddin dan Ushul Ahlu Sunnah wa Al-Jamaah. Maka hal-hal yang bersifat Furu’ tidak dapat dijadikan landasan untuk menghakimi kafir atau mengeluarkan seseorang dari golongan Ahlu Sunnah wa Al-Jamaah meskipun masih dalam ruang lingkup pembahasan akidah dan keimanan (Sinan, 2008: 120).
Menurut Hamad Sinan terdapat beberapa permasalahan Ahlu Sunnah wa Al-Jama’ah dalam akidah, Furu’Akidah adalah perkara yang ada selain dari kedua macam pemasalahan diatas, atau Juz’iyyah Aqidah bagian dari permasalahan akidah…perbedaan didalamnya merupakan suatu hal yang masyru’ yang pernah terjadi diantara para ulama salaf diantaranya berbedaan dalam mentafwid ayat al-Mutasyabih dan mentakwilnya (Sinan, 2008: 141).
Para ulama baik kalaf maupun salaf mempunyai metode tersendiri dalam menafsirkan ayat tersebut. Hamad Sinan dan Fauzi Al-Anjari  mengistilahkanya sebagai metode Takwil dan Tafwid sebagai berikut: (1) Tafwid adalah mengembalikan pengetahuan tentang al-Mutasyabihat kepada Allah l dan tidak menyelami (khawdh) maknanya setelah melepaskan Allah dari makna dzahirnya yang tidak sesuai dengan syariat. (2) Merubah lafadz dari dzahirnya dengan qarinah yang mengacu padanya (Sanin, 2008: 141). Sedangkan Muhammad Al-Fadhil mengistilahkanya degan takwil kedalam dua macam, yaitu Takwil Tafshili dan Takwil Ijma>li, yaitu: (1) Takwil Tafhili adalah memindahkan apa yang ada dalam al-Qur’an atau Sunnah yang menimbulkan Waham dari pendzahiranya dengan memberikan makna penjelas (ta’yi>n). (2) Takwil Ijma>li adalah menyerahkan maknanya kepada Allah, dengan terlebih dahulu memindahkan maknanya dari makna dzahir tanpa Ta’yi>n makna penjelas, atau istilah lainya disebut dengan Takwil Tafwidhi (Al-Fa>dlil, tt: 37).
Permaslahan mengenai perbedaan pendapat mengenai metode penafsiran ayat al-Mutasyabih, baik Tafwid atau Takwil Ijmali, dan Takwil atau Takwil Tafshili, terletak pada perbedaan pendapat dalam menetapkan tempat berhentinya ayat.Kata “dan” (و) dalam potongan ayat “dan orang-orang yang mendalami ilmunya”(والرسخون) difahami berbeda antara para ulama salaf dan salaf. Para ulama salaf mengkategorikanya sebagai Wa>w Istisna>fiyah dan kalimat setelahnya disebut dengan kalimat musta’nifah, dengan demikian ketika difahami seperti itu maka maknanya menjadi “tidak ada yang tau takwilnya kecuali Allah l”, mengembalikan takwilnya kepada Allah dengan keyakinan bahwa Allah lebih mengetahui maksudnya, tidak menyibukan diri untuk mentakwilkanya, hal tersebut dilakukan setelah meyakini bahwa Allah tidak menyerupai makhluk-Nya. Berbeda halnya dengan pendapat para ulama khalaf, mereka meyakini bahwa lafadz “dan” adalah huruf ‘Athaf (kata penghubung) dan kalimat setelahnya disebut dengan  ma’thuf  (yang terhubung) dengan lafadz Jalala>h (Allah).  Dengan demikian maknanya menjadi berbeda dengan pendapat yang pertama. Dari ayat ini difahami bahwa selain Allah, al-Ra>sikhu>n (orang yang mendalami Ilmu) juga memahami makna dari ayat-ayat al-Mutasyabih (Al-Asfaha>ni, 2009: 174).
F.     Simpulan
            Hasil penelitian menunjukan bahwa bahwaakidah mazhab Asy’ariyyah merupakan mazhab akidah yang lahir dari pemahaman akidah para ulama mazhab imam ImamSyafi’i dan Imam Malik.Sedangkan, mazhab Salafiyyah adalah mazhab yang mengacu pada pendapat para ulama mazhab Imam Ahmad dan Imam Abu Hanifah. Dari pemaparan diatas peneliti menyimpulkan bahwa Mazhab Asy’ariyyah dan Salafiyyah meskipun berbeda pendapat dalam beberapa permasalahan akidah namun keduanya bersumber dari tradisi fiqihAhluSunnahwa Al-Jamaah dari empat Imam mazhab fiqih; Imam Syafi’I, Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Ahmad. Dengan demikian perbedaan Asy’ariyyah dan Salafiyyah hakikatnya dilatarbelakangi oleh perbedaan pendapat yang umumnya terjadi diantara para Imam mazhab tersebut.

G.    Referensi
Ali , A. Mukti. Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah. Jakarta: Djambatan, 1995.
Al-Humaidi, Abdul Ajiz bin Abdullah.Risa>lah al-Syumu>liyah,Saudi Arabia: Da>r ‘Uyu>n al-Ma’rifah, 2000.
Abdul Latif, Abdul Aziz bin Muhammad bin ‘Alli.Nawa>qidl al-I>ma>n al-Qawliyah wa al-‘Amaliyah. Riyad: Mada>r al-Wathan Li al-Nasyr, 2007.
Ibn Kasir,Abdul Fida IsmailAd-Damasyqi.Tafsir Ibnu Katsir.. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2008.
Al-Baghdadi,Abdul Qahir.Al-Farqu Baina al-Firaq. Kairo: Pustaka Ibn Sina, tt.
Abdul Wahab Khallaf.‘Ilm Ushu>l al-Fiqh. Mesir: Pustaka Dakwah Islamiyah Syaba>b al-Aszhar, 1956.
Khalik, Abdurrahman Abdul.Salafiyun wa al-Aimmah al-Arba’ah.Kuwait: Da>r Salafiyah li al-Nasyr wa Al-Tauzi>’, 1977.
Al-Sudais,Abdurrahman Ibn Sholih.Syarh al-‘Aqi>dah al-Taha>wiyah. Riyadh: Da>r Tadmoria, tt.
Al-‘Asqala>ni.Abi al-Fadhl Ahmad bin Ali bin Hajar.al-Ishabah fi Tamyi>z al-Shaha>bah. Kairo: Markaz Hijr Lilbuhu>ts wa al-Dira>sa>t al-‘Arabiyah wa al-Isla>miyah, 2008.
Al-Dimasqy.Abi al-Fida>’ Isma>’i>l ibn ‘Imra>n ibn Katsi>r al-Qurasy.Tafsir Qur’a>n al-‘Adzim. Riyadh: Daar Thayyibah lilnasyr wa al-Tauzi>’, 1998.
Al-Misraty, Abu Abdurrahman Shalaah ibn Salaam.Mu’jam al-Shahaabah. Madinah: Maktabah al-Ghuraba al-Atsariyah, 2006.
Al-Isfra>yi>ni>,Abu al-Muzaffar.al-Tafsi>r fi al-Di>n wa Tamyi>z al-Firqah a;-Na>jiyah ‘an al-Firqah al-Ha>likin. Beirut: Maktabah ‘Alim al-Kutub, 1973.
Al-Nadwi,Abu Hasan.Tabshit al-Aqa’id al-Islami. Beirut:Daar al-Nadwah, 1983.
----, Rijal al-Fikri wal al-Dakwih fi Al-Islam. Beirut: Daar Ibn Katsir, 2007..
Al-Hulaibi, Ahmad bin Abdul ‘Ajiz.Ushul al-Hukmi ‘Ala al-Mubtadi’ah ‘Inda Syeikh Isla>m Ibn Taimiyyah.Kairo: Da>r Fadhi>lah, tt.
Jumu’ah , Ali.Al- Baya>n lima> Yashgal al-Azha>n.Kairo: Da>r Ihya> al-Sunnah, 2008.
Al-Haddad,Alwi.Risalah al-Mu’awanah, al-Mudzahirah. al Muazirah,Kairo: Pustaka Da>r al-Ha>wi, 1994.
Al-Saqaf, Alwi bin Abdul Qadir.Aqidah Al-Washatiyah. Riyad: Pustaka Durar al-Suniyah, 2013.
Al-Za>bidi. Itiha>f al-Sa>datu al-Mutaqi>n bi Syarhi> ihya> ‘Ulumu al-Di>n. Beirut: Muasasatu al-Tari>kh al-‘Arabi, tt.
Al-Zarkasyi, >Badruddi>n.al-Burha>n fi ‘Ulu>m al-Qur’an.Beirut: D>a>r al-Hadi>ts, 2006.
Abdurahman, Dudung.Komunitas Multikultural dalam Sejarah Islam Periode Klasik. Yogyakarta: Ombak, 2014.
Ghaza>li.Iljam al-‘Awa>m fi ‘Ilmi al-Kala>m. Libanon: Da>r Fikr al-Lubna>ni, 1998.
Hamad Sinan dan Fauzi al-Anjari. Ahlu al-Sunnah al-Asya’irah. Kuwait: Da>r al-Dhiya>’, 2004.
Nasution, Harun.Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisis Perbandingan. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1991^.
Muhammadiyah, Hilmi dan Fatoni, Shulthan.NU Identitas Islam Indonesia. Jakarta : eLSAS, 2004.
Al-Haitsami, Ibn Hajjar.al-Jawajir ‘an Iqtifa>f al-Kaba>ir.Kairo: Syarikah Maktabah wa Mathba’ah Musthafa al-Baby al-Hally, 1970.
Ibn Mandzur.Lisanul ‘Arab. Beirut: Pustaka Da>r Shadr, 2010.
Ibn Nadhim.Syarh al-Fiyah ibn Ma>lik li Ibn Nadhim. Beirut: Da>r al-Jil, tt.
Ibn Taimiyyaah.Qa>’idah Jali>lah fi tawashul wa al-Washilah.Pustaka Malik Fahd, 1999.
Ibn Taimiyyah.Majmu>’ al-Fata>wa.Riyadh: Mujma’ Malik Fahd, 2004.
----, Minjah As-Sunnah, Lihat juga di Ibn Hazm Al-Dzahiri.Al-Fisha>l fi Mila>l wal Ahwa> al-Niha>l. Beirut: Da>r al-Ji>l, tt.
Al-Baijuri, Ibrahim.Kifayatu al-‘Awwa>m.Surabaya: Da>r al-‘Ilm, tt.
Nawawi, Imam.Syarh Muslim. Kairo: Daar al-Hadis, 1929.
Hanbali,Mar’I Ibn Yusuf Karami.Syahadah Zakiyah fi Tsana> al-‘Aimmah ‘Ala Ibn Taimiyyah. Beirut: Pustaka Da>r al-Furqa>n, 1985.
Ardae, Masakaree.“Kesejarahan Ajaran Sifat 20 di Alam Melayu”.2014, Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, 2 (1) Maret 2014, hlm. 53 diuduh dalam http://www.susurgalur-jksps.com di akses pada tanggal 23 Maret 2016.
Anshari,Muhammad Abdul-haqq.Comentary on the Creed of at-Taha>wi by Ibn Abi> al-“zz Syarh al-‘Akidah alt-Taha>wiyy>ah.Riyadh: Institute of Islamic and Arabic Sciences in Amerika, 2008.
Al-Dasuki,Muhammad.Hasyiah al-Dasuki ala Ummu al-Barahin Li Imam Al-Sanusi. Surabaya: Pustaka Imaratullah, tt.
Utsaimin,Muhammad bin Shalih.Majmu>’ al-Fatawa>.Riyad: Da>r Wathan li al-Nasyr, 2008.
Utsman,Muhammad Fathi.al-Salafiyah fi al-Mujtama’a>t al-Mu’a>shirah. Kuwait: Da>r al-Qalam,1981.
Al-Beirut,Muhammad ibn Darwi>s al-Hu>t.Rasa’il fi Baya>n‘Aqa>id Ahlu Sunnah wa al-Jama>’ah, Beirut: Darul Kutub Al-Islami,tt.
Al-Shak‘ah,Musthafa Muhammad.Islam bila Madzahib. Jakarta: Gema Insani Press, 1994.
Al-‘Aql,Na>sir Ibn Abd. Kari<m.Mujmal Ushu>l Ahlis Sunnah wal Jama>’ah fil ‘Aqi>dah. Riyadh: Daar Wathan,1995.
----.Iqtidha> al-Shira>t al-Mustaqi>m limukha>lafah Asha>b al-Jahi>m.Riyad: Pustaka Al-Rasyi>d, tt.
Madjid,Nurcholis.Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina, 1995.
----, Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang,1994.
Al-Asfaha>ni,Raghi>b. Mufradat Al-Fa>dz Al-Qur’a>n.Beirut: Da>r al-Syamiyyah, 2009.
Al-Bu>thi, Ramadhan.al-Salafiah Marhalatu zama>niyah muba>rakah. Beirut: Da>r al-Fikr, tt.
Hawa, Sa’id.Jaulat fi al-Fikihaini al-Kabir wa al-Akbar. Kairo: Daar al-Salaam, 1993.
Sha>wi, Sala>h.Al-Tsawa>bitwa Al-Mutaghayyira>t fi Maisarati al-‘Amal al-Isla>mi> al-Mu’a>shir.Amerika: Pustaka Sharia Academy of America, 2009.
Siradjuddin.I’tiqad Ahlu Sunnah wa Al-Jamaah. Jakarta: Pustaka Tarbiyah,2006.
Al-Dzahabi,Syamsyuddin Muhammad ibn Ahmad ibn Utsman.Siyar A’lam An-Nubala. Beirut: Muasasah al-Risalah, 1972. 
Al-Subki,Ta>j al-Di>n.Tabaqa>t al-Sya>fi’iyah al-Kubra.Kairo: Da>r Ihya> al-Kutub al-Arabi, 1964.
Tuaimah,Tabir.Dirāsāt fi al-Firāq. Riyādh: Maktabah al-Maārif, 1983.
Amstron,Tim et.al. .Ahlu Sunnah wa Al-Jamaah.dalam http://www.dmoz.org diakses pada tanggal 24 Februari 20015.
Watt,W. Montgomery.The Faith and Practice of Al-Ghazali. Wasington: One World Publicantions Press,1994.
Jawwaz, Yazid bin Abdul Qadir.Syarah Akidah Ahlu Sunnah wa Al-Jamaah. Bogor: Pustaka Imam Syafi’I,2004.







                                                    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

THREE MAJOR FACTORS THAT CAUSE DIVORCE AND ITS SOLUTION IN ISLAM

    A Case Study at Majalengka Religious Court in 2014 - 2017 Yadi Fahmi Arifudin Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Husnul Khotimah Kuni...