Selasa, 04 September 2018

URGENSITAS PENDIDIKAN KELUARGA DALAM MENGISI KEMERDEKAAN BANGSA


Agustus adalah bulan yang bersejarah, masyarakat pada umumnya lebih mengenalnya sebagai bulan dimana Indonesia lahir sebagai negara yang berdaulat dan merdeka. Kemerdekaan tersebut umumnya divisualisasikan sebagai produk perjuangan para pahlawan dalam memerangi penjajah. Namun tidak banyak yang menyadari  bahwa para pahlawan itu lahir dari keluarga yang luar biasa sehingga mereka menjadi orang yang tidak biasa.
             Siapa yang tidak kenal dengan Ir Soekarno, ia adalah pemain kunci dalam kemerdekaan Indonesia. Namun tak banyak yang tahu bahwa ia adalah anak dari keluarga bangsawan dan terdidik. Ayahnya Raden Soekeni Sosrodihardjo adalah seorang guru di sekolah dasar pribumi milik pemerintahan belanda. Menjadi seorang guru milik pemerintahan belanda merupakan suatu prestasi yang sangat luar biasa. Mengingat status bangsa Indonesia sebagai masyarakat keuda yang terjajah, umumnya menjadi objek eksploitasi. Meski disebut dengan sekolah pribumi, namun pendidikan itu tidak diperuntukkan untuk rakyat jelata. Hanya para bangsawan seperti Ida Ayu Nyoman Rai, ibu Ir Soekarno lah yang diperbolehkan untuk mengenyam pendidikan formal yang ada pada saat itu.
             Muhammad Hatta adalah tokoh kunci kedua kemerdekaan Indonesia. Ia adalah wakil presiden pertama dari pemerintahan Soekarno. Ia lahir dari seorang ayah yang luar biasa Syekh Muhammad Djamil. Ia adalah seorang ulama besar tarekat Islam di daerah Batuhampar. Konon surau tempat ia mengajar menjadi pusat pengaderan para buya dan alim ulama sebelum mereka berdakwah ke seantero nusantara. Ibunya adalah seorang saudagar berada dan berpendidikan. Meski kemudian Ayahnya meninggal dunia saat usia muda bung Hatta. Namun Siti Shalehah tidak pernah menyerah dalam mendidik agama anak yang mengalir darah ulama dari ayah dan kakeknya Buya Abdurrahman. Dengan kemampuan ekonomi  yang cukup, pendidikan agama Hatta kemudian diserahkan kepada seorang ulama besar Muhammad Djamil Djambek, pendiri tarekat terbesar di Indonesia, tarekat Qadariyyah Naqsabandiyyah. Besarnya perhatian sang ibu terhadap pendidikan anaknya, tidak dapat terwujud kecuali jika ia adalah orang yang terdidik sehingga sadar akan urgensi pendidikan.
            Kedua tokoh nasional ini cukup untuk dijadikan contoh betapa besarnya pengaruh pendidikan dalam membangun sebuah keluarga yang di dalamnya akan lahir orang-orang besar yang dapat mengharumkan nama indonesia. Ibarat peribahasa, buah tak akan jatuh jauh dari pohonnya, anak yang hebat akan lahir dari orang tua yang hebat. Jika setiap orang tua terdidik seperti halnya orang tua kedua tokoh bangsa Indonesia tersebut diatas, tentu setiap permasalahan bangsa akan lebih mudah untuk diatasi. Lebih dari itu Indonesia akan menjadi negara yang besar dan dihormati oleh dunia.
            Sayangnya saat ini tak banyak dari orang tua yang menyadari pentingnya pendidikan untuk menciptakan keharmonisan rumah tangga terlebih lagi melahirkan para tokoh bangsa seperti Soekarno dan Hatta. Karena bibit yang baik tumbuh dengan baik di lahan yang baik dan subur, sebaliknya lahan gersang tidak akan menumbuhkan tanaman, bahkan mematikannya tanaman yang sudah tumbuh di atasnya. Bagaikan bibit yang baik, setiap anak Allah SWT anugerahkan potensi kebaikan meski ia lahir dari rahim seorang penjahat. Namun jika tidak dijaga oleh lingkungan yang memungkinkannya berbuat baik maka kebaikan itu akan sulit hidup di dalam diri anak meski ia tetap ada. Peneliti menemukan bahwa semakin tinggi keharmonisan keluarga maka semakin rendah kenakalan remaja, sebaliknya semakin rendah keharmonisan keluarga maka semakin tinggi tingkat kenakalan remaja. (SUHARYONO|, 2015).
            Dengan demikian pendidikan karakter seharusnya tidak hanya disodorkan pada anak, namun juga harus disadari, dipahami, dan diamalkan oleh para orang tua. Meski pada kenyataannya mereka yang umumnya memiliki masalah keluarga adalah mereka yang tidak tuntas pendidikan formal nya karena menikah pada usia dini. Penelitian menyebutkan bahwa tingkat pendidikan pasangan sangat mempengaruhi tingkat perceraian. Sebaliknya orang yang tingkat pendidikannya tinggi jarang mengalami perceraian (Hasan, 2009)   
Namun demikian hal tersebut tidak dapat kita jadikan alasan untuk menyerah begitu saja tanpa ada solusi. Pendidikan pra nikah adalah salah satu solusi terbaik mengatasi permasalahan tersebut. Faktanya pasangan suami istri yang terlebih dahulu diberikan pengetahuan tentang pernikahan mempunyai imunitas lebih tinggi dari perceraian. Pendidikan diyakini memiliki pengaruh terhadap terciptanya keharmonisan rumah tangga (Halford, 2008).
            Temuan-temuan tersebut kemudian mendorong pemerintah untuk membuat sebuah gerakan keluarga sakinah dengan munculnya keputusan mentri agama nomor 3 tahun 1999. Gerakan tersebut menjadi bola salju dan terus bergulir hingga saat ini dengan munculnya Peraturan Dirjen Bimas Islam tahun 2013 yang mengatur secara lebih rigid tentang penyelenggaraan kursus pra nikah.  Semua peraturan yang telah ditetapkan hakikatnya merupakan suatu bentuk kesadaran atas pentingnya pendidikan dalam membangun biduk rumah tangga.
            Sayangnya ternyata usaha untuk menuntaskan pendidikan pernikahan bagi calon pengantin tidak semudah membalikkan telapak tangan. Berbagai kendala di temui oleh para pelaksana program dari pemerintah ataupun objek dari kebijakan tersebut yaitu masyarakat. Beberapa kendala seperti kurang disiplin nya peserta pendidikan, terbatasnya ruang dan waktu, dan penjelasan yang tidak tuntas sehingga menimbulkan keraguan dalam mengaplikasikan apa telah di dengarkan. (Afif Kurnia Rohmah, 2017).
Oleh karena pemerintah harus dapat merangkul seluruh lapisan masyarakat baik secara personal maupun kelompok untuk membantu menyelesaikan setiap kendala agar sampai pada tujuan yang telah ditentukan. Dalam hal ini peran perguruan tinggi sangat diperlukan, selain melahirkan sarjana-sarjana yang memiliki kompetensi dalam bidang keluarga islam ia juga memiliki tanggung jawab untuk terlibat secara langsung menyelesaikan permasalahan umat sesuai dengan tri darma perguruan tinggi yaitu pengabdian masyarakat.
Perguruan tinggi harus hadir memberikan solusi secara langsung dan tidak langsung terhadap setiap permasalahan yang ada di masyarakat, khususnya yang berhubungan dengan keharmonisan keluarga. Sehingga jika keluarga yang utuh dan harmonis terbentuk diharapkan dapat melahirkan generasi-generasi penerus yang berkualitas yang dapat mengharumkan nama bangsa Indonesia sebagaimana yang telah di lakukan oleh para pendahulu bangsa dari para pahlawan nasional.
Generasi penerus bangsa tersebut harus dijaga dari gejolak dekadensi moral yang menghinggapi negri ini, yang kian lama, kian mengkhawatirkan. Mulai dari pergaulan bebas, narkoba, kekerasan antara pelajar, dan lain sebagainya. Untuk mengatasi itu semua  memerlukan kerja keras, semangat tinggi dan kerja sama yang solid orang tua. Sedangkan kerja sama yang tinggi tidak dapat dicapai tanpa adanya keharmonisan, loyalitas dan rasa saling percaya satu sama lain. Terlebih lagi anak-anak  adalah orang tua di masa depan yang akan melanjutkan estafet perjuangan bangsa.
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya untuk membentuk keluarga yang utuh dan harmonis membutuhkan ilmu yang memadai. Sehingga masyarakat harus didik dengan keilmuan agama yang utuh dan holistik khususnya yang berhubungan dengan keluarga sedini mungkin. Hal tersebut sudah disadari oleh para ulama terdahulu. Terlihat dari bagaimana para ulama fikih umumnya menempatkan pembahasan nikah pada akhir bab setelah ibadah-ibadah wajib seperti shalat dan zakat. Itu menunjukkan bahwa pemenuhan ilmu Islam hakikatnya harus terlebih dahulu dikuasai seorang muslim dan muslimah sebelum akhirnya ia memutuskan untuk menikah. Sehingga ia memiliki bekal untuk memberikan keselamatan diri dan keluarganya di dunia dan di akhirat.
Hanya saja kondisi demikian pada saat ini sangat sulit untuk direalisasikan. Pemenuhan kualitas keilmuan agama yang ideal sebagaimana yang diharapkan oleh para ulama fikih umumnya hanya dapat dilakukan di sekolah-sekolah yang memiliki komposisi jam pelajaran yang banyak seperti halnya pesantren. Bagi sekolah umum pendidikan agama porsi nya sangatlah tidak memadai (Abd. Rouf, 2015) sehingga ketercapaian pengetahuan tentang agama akan sulit memumpuni, kecuali jika diberikannya tambahan ilmu pengetahuan pada sekolah-sekolah madrasah di sore hari. Hal itulah yang mendasari disahkan Madrasah Diniyyah dalam Undang-Undang Dasar dalam PP RI UU No.20 tahun 2003 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan dan PP Mentri Agama tahun 2013 tentang kurikulum madrasah 2013. Namun demikian pelaksanaannya secara umum mengalami berbagai kendala yang mengakibatkan kurang optimalnya pembelajaran madrasah dari segi implementasi kurikulum dan kompetensi tenaga pengajar. (Nuriyatun Nizah, 2016)
Selain Madrasah, majelis taklim adalah lembaga pendidikan non formal yang dapat dijadikan solusi dalam mengatasi problematik keluarga. Memang, secara umum majlis taklim memiliki pengaruh besar di masyarakat. Majelis taklim mampu membawa dampak positif dan perubahan ke arah yang baik pada jamaah dan keluarganya. Hanya saja dampak positif tersebut diketahui hanya dirasakan oleh sebagian masyarakat yang memiliki komitmen dan intensitas tinggi dalam mengikuti pengajian. Umumnya pelaksanaan Majlis Taklim pun menghadapi permasalahan tersendiri seperti tingkat partisipasi masyarakat yang rendah sehingga menghambat tersampaikan nya pemahaman Islam yang kamil. (Raudhatul Jannah, 2017). Terlebih lagi, Majelis Taklim umumnya dikelola secara tradisional dengan menggunakan pendekatan pahala dan konsep lillahitaala, sehingga materi yang disampaikan sesuai dengan permintaan jamaah , tidak terencana dengan baik. (Heni Ani Nuraeni, 2017).
Dari fenomena tersebut tidak lah heran jika banyak ditemui pasangan calon suami istri atau suami istri yang menikah dan belum memiliki pengetahuan yang cukup untuk mengarungi bahtera rumah tangga, sehingga ia mudah karam jika diterjang ombak dan badai kehidupan. Sehingga solusi  yang harus dilakukan adalah adanya pendidikan keluarga tidak hanya pra nikah namun juga pasca nikah. Pemerintah harus dapat mendorong secara moril maupun materil seluruh pihak yang terkait khususnya perguruan tinggi untuk dapat melahirkan sarjana-sarjana hukum keluarga Islam sehingga diharapkan dalam satu keluarga memiliki satu orang ahli keluarga Islam sebagai duta dan konsultan dalam menghadapi persoalan keluarga dan mengoptimalkan setiap program kemasyarakatan yang sudah ada untuk terwujudnya keluarga yang ideal.

Jika kebutuhan pengetahuan agama terpenuhi oleh setiap keluarga, sehingga mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah dan penuh rahmat. Maka tidak menutup kemungkinan dari keluarga tersebut akan lahir seorang tokoh-tokoh bangsa yang mampu mengharumkan nama negara kesatuan Republik Indonesia seperti halnya Soekarno dan Hatta di masa depan. (Dr. Yadi Fahmi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

THREE MAJOR FACTORS THAT CAUSE DIVORCE AND ITS SOLUTION IN ISLAM

    A Case Study at Majalengka Religious Court in 2014 - 2017 Yadi Fahmi Arifudin Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Husnul Khotimah Kuni...