Agustus adalah bulan yang bersejarah, masyarakat
pada umumnya lebih mengenalnya sebagai bulan dimana Indonesia lahir sebagai
negara yang berdaulat dan merdeka. Kemerdekaan tersebut umumnya
divisualisasikan sebagai produk perjuangan para pahlawan dalam memerangi
penjajah. Namun tidak banyak yang menyadari bahwa para pahlawan itu lahir dari keluarga
yang luar biasa sehingga mereka menjadi orang yang tidak biasa.
Siapa yang tidak kenal dengan Ir Soekarno, ia
adalah pemain kunci dalam kemerdekaan Indonesia. Namun tak banyak yang tahu
bahwa ia adalah anak dari keluarga bangsawan dan terdidik. Ayahnya Raden Soekeni Sosrodihardjo adalah seorang guru di sekolah
dasar pribumi milik pemerintahan belanda. Menjadi seorang guru milik
pemerintahan belanda merupakan suatu prestasi yang sangat luar biasa. Mengingat
status bangsa Indonesia sebagai masyarakat keuda yang terjajah, umumnya menjadi
objek eksploitasi. Meski disebut dengan sekolah pribumi, namun pendidikan itu
tidak diperuntukkan untuk rakyat jelata. Hanya para bangsawan seperti Ida Ayu Nyoman Rai, ibu Ir Soekarno lah yang diperbolehkan
untuk mengenyam pendidikan formal yang ada pada saat itu.
Muhammad Hatta
adalah tokoh kunci kedua kemerdekaan Indonesia. Ia adalah wakil presiden
pertama dari pemerintahan Soekarno. Ia lahir dari seorang ayah yang luar biasa Syekh
Muhammad Djamil. Ia adalah seorang ulama besar tarekat Islam di daerah
Batuhampar. Konon surau tempat ia mengajar menjadi pusat pengaderan para buya
dan alim ulama sebelum mereka berdakwah ke seantero nusantara. Ibunya adalah
seorang saudagar berada dan berpendidikan. Meski kemudian Ayahnya meninggal dunia
saat usia muda bung Hatta. Namun Siti Shalehah tidak pernah menyerah dalam
mendidik agama anak yang mengalir darah ulama dari ayah dan kakeknya Buya
Abdurrahman. Dengan kemampuan ekonomi
yang cukup, pendidikan agama Hatta kemudian diserahkan kepada seorang
ulama besar Muhammad Djamil Djambek, pendiri tarekat terbesar di Indonesia,
tarekat Qadariyyah Naqsabandiyyah. Besarnya perhatian sang ibu terhadap
pendidikan anaknya, tidak dapat terwujud kecuali jika ia adalah orang yang
terdidik sehingga sadar akan urgensi pendidikan.
Kedua tokoh nasional ini cukup untuk dijadikan contoh
betapa besarnya pengaruh pendidikan dalam membangun sebuah keluarga yang di dalamnya
akan lahir orang-orang besar yang dapat mengharumkan nama indonesia. Ibarat
peribahasa, buah tak akan jatuh jauh dari pohonnya, anak yang hebat akan lahir
dari orang tua yang hebat. Jika setiap orang tua terdidik seperti halnya orang
tua kedua tokoh bangsa Indonesia tersebut diatas, tentu setiap permasalahan bangsa
akan lebih mudah untuk diatasi. Lebih dari itu Indonesia akan menjadi negara
yang besar dan dihormati oleh dunia.
Sayangnya saat ini tak banyak dari orang tua yang
menyadari pentingnya pendidikan untuk menciptakan keharmonisan rumah tangga
terlebih lagi melahirkan para tokoh bangsa seperti Soekarno dan Hatta. Karena
bibit yang baik tumbuh dengan baik di lahan yang baik dan subur, sebaliknya
lahan gersang tidak akan menumbuhkan tanaman, bahkan mematikannya tanaman yang
sudah tumbuh di atasnya. Bagaikan bibit yang baik, setiap anak Allah SWT
anugerahkan potensi kebaikan meski ia lahir dari rahim seorang penjahat. Namun
jika tidak dijaga oleh lingkungan yang memungkinkannya berbuat baik maka
kebaikan itu akan sulit hidup di dalam diri anak meski ia tetap ada. Peneliti
menemukan bahwa semakin tinggi
keharmonisan keluarga maka semakin rendah kenakalan remaja, sebaliknya semakin
rendah keharmonisan keluarga maka semakin tinggi tingkat kenakalan remaja. (SUHARYONO|, 2015).
Dengan demikian pendidikan karakter seharusnya tidak
hanya disodorkan pada anak, namun juga harus disadari, dipahami, dan diamalkan
oleh para orang tua. Meski pada kenyataannya mereka yang umumnya memiliki
masalah keluarga adalah mereka yang tidak tuntas pendidikan formal nya karena
menikah pada usia dini. Penelitian menyebutkan bahwa tingkat pendidikan
pasangan sangat mempengaruhi tingkat perceraian. Sebaliknya orang yang tingkat pendidikannya tinggi jarang mengalami
perceraian (Hasan,
2009)
Namun
demikian hal tersebut tidak dapat kita jadikan alasan untuk menyerah begitu
saja tanpa ada solusi. Pendidikan pra nikah adalah salah satu solusi terbaik
mengatasi permasalahan tersebut. Faktanya pasangan suami istri yang terlebih
dahulu diberikan pengetahuan tentang pernikahan mempunyai imunitas lebih tinggi
dari perceraian. Pendidikan diyakini memiliki pengaruh terhadap terciptanya
keharmonisan rumah tangga (Halford, 2008).
Temuan-temuan tersebut kemudian mendorong pemerintah
untuk membuat sebuah gerakan keluarga sakinah dengan munculnya keputusan mentri
agama nomor 3 tahun 1999. Gerakan tersebut menjadi bola salju dan terus
bergulir hingga saat ini dengan munculnya Peraturan Dirjen Bimas Islam tahun
2013 yang mengatur secara lebih rigid tentang penyelenggaraan kursus pra nikah. Semua peraturan yang telah ditetapkan
hakikatnya merupakan suatu bentuk kesadaran atas pentingnya pendidikan dalam
membangun biduk rumah tangga.
Sayangnya ternyata usaha untuk menuntaskan pendidikan
pernikahan bagi calon pengantin tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Berbagai kendala di temui oleh para pelaksana program dari pemerintah ataupun
objek dari kebijakan tersebut yaitu masyarakat. Beberapa kendala seperti kurang
disiplin nya peserta pendidikan, terbatasnya ruang dan waktu, dan penjelasan
yang tidak tuntas sehingga menimbulkan keraguan dalam mengaplikasikan apa telah
di dengarkan. (Afif Kurnia Rohmah, 2017).
Oleh
karena pemerintah harus dapat merangkul seluruh lapisan masyarakat baik secara
personal maupun kelompok untuk membantu menyelesaikan setiap kendala agar sampai
pada tujuan yang telah ditentukan. Dalam hal ini peran perguruan tinggi sangat diperlukan,
selain melahirkan sarjana-sarjana yang memiliki kompetensi dalam bidang
keluarga islam ia juga memiliki tanggung jawab untuk terlibat secara langsung
menyelesaikan permasalahan umat sesuai dengan tri darma perguruan tinggi yaitu
pengabdian masyarakat.
Perguruan
tinggi harus hadir memberikan solusi secara langsung dan tidak langsung
terhadap setiap permasalahan yang ada di masyarakat, khususnya yang berhubungan
dengan keharmonisan keluarga. Sehingga jika keluarga yang utuh dan harmonis
terbentuk diharapkan dapat melahirkan generasi-generasi penerus yang
berkualitas yang dapat mengharumkan nama bangsa Indonesia sebagaimana yang
telah di lakukan oleh para pendahulu bangsa dari para pahlawan nasional.
Generasi
penerus bangsa tersebut harus dijaga dari gejolak dekadensi moral yang
menghinggapi negri ini, yang kian lama, kian mengkhawatirkan. Mulai dari
pergaulan bebas, narkoba, kekerasan antara pelajar, dan lain sebagainya. Untuk
mengatasi itu semua memerlukan kerja
keras, semangat tinggi dan kerja sama yang solid orang tua. Sedangkan kerja
sama yang tinggi tidak dapat dicapai tanpa adanya keharmonisan, loyalitas dan
rasa saling percaya satu sama lain. Terlebih lagi anak-anak adalah orang tua di masa depan yang akan
melanjutkan estafet perjuangan bangsa.
Sebagaimana
yang telah disebutkan sebelumnya untuk membentuk keluarga yang utuh dan
harmonis membutuhkan ilmu yang memadai. Sehingga masyarakat harus didik dengan keilmuan
agama yang utuh dan holistik khususnya yang berhubungan dengan keluarga sedini
mungkin. Hal tersebut sudah disadari oleh para ulama terdahulu. Terlihat dari
bagaimana para ulama fikih umumnya menempatkan pembahasan nikah pada akhir bab
setelah ibadah-ibadah wajib seperti shalat dan zakat. Itu menunjukkan bahwa
pemenuhan ilmu Islam hakikatnya harus terlebih dahulu dikuasai seorang muslim
dan muslimah sebelum akhirnya ia memutuskan untuk menikah. Sehingga ia memiliki
bekal untuk memberikan keselamatan diri dan keluarganya di dunia dan di akhirat.
Hanya
saja kondisi demikian pada saat ini sangat sulit untuk direalisasikan.
Pemenuhan kualitas keilmuan agama yang ideal sebagaimana yang diharapkan oleh
para ulama fikih umumnya hanya dapat dilakukan di sekolah-sekolah yang memiliki
komposisi jam pelajaran yang banyak seperti halnya pesantren. Bagi sekolah umum
pendidikan agama porsi nya sangatlah tidak memadai (Abd. Rouf, 2015) sehingga ketercapaian
pengetahuan tentang agama akan sulit memumpuni, kecuali jika diberikannya
tambahan ilmu pengetahuan pada sekolah-sekolah madrasah di sore hari. Hal
itulah yang mendasari disahkan Madrasah Diniyyah dalam Undang-Undang Dasar
dalam PP RI UU No.20 tahun 2003 tentang pendidikan agama dan pendidikan
keagamaan dan PP Mentri Agama tahun 2013 tentang kurikulum madrasah 2013. Namun demikian pelaksanaannya secara umum mengalami berbagai kendala
yang mengakibatkan kurang optimalnya pembelajaran madrasah dari segi implementasi kurikulum dan kompetensi tenaga pengajar. (Nuriyatun Nizah, 2016)
Selain
Madrasah, majelis taklim adalah lembaga pendidikan non formal yang dapat
dijadikan solusi dalam mengatasi problematik keluarga. Memang, secara umum majlis
taklim memiliki pengaruh besar di masyarakat. Majelis taklim mampu membawa
dampak positif dan perubahan ke arah yang baik pada jamaah dan keluarganya.
Hanya saja dampak positif tersebut diketahui hanya dirasakan oleh sebagian
masyarakat yang memiliki komitmen dan intensitas tinggi dalam mengikuti
pengajian. Umumnya pelaksanaan Majlis Taklim pun menghadapi permasalahan
tersendiri seperti tingkat partisipasi masyarakat yang rendah sehingga
menghambat tersampaikan nya pemahaman Islam yang kamil. (Raudhatul Jannah, 2017). Terlebih lagi, Majelis Taklim umumnya dikelola secara
tradisional dengan
menggunakan pendekatan pahala dan konsep lillahitaala, sehingga materi yang
disampaikan sesuai dengan permintaan jamaah , tidak terencana dengan baik. (Heni Ani Nuraeni, 2017).
Dari
fenomena tersebut tidak lah heran jika banyak ditemui pasangan calon suami
istri atau suami istri yang menikah dan belum memiliki pengetahuan yang cukup
untuk mengarungi bahtera rumah tangga, sehingga ia mudah karam jika diterjang ombak
dan badai kehidupan. Sehingga solusi
yang harus dilakukan adalah adanya pendidikan keluarga tidak hanya pra
nikah namun juga pasca nikah. Pemerintah harus dapat mendorong secara moril
maupun materil seluruh pihak yang terkait khususnya perguruan tinggi untuk
dapat melahirkan sarjana-sarjana hukum keluarga Islam sehingga diharapkan dalam
satu keluarga memiliki satu orang ahli keluarga Islam sebagai duta dan
konsultan dalam menghadapi persoalan keluarga dan mengoptimalkan setiap program
kemasyarakatan yang sudah ada untuk terwujudnya keluarga yang ideal.
Jika
kebutuhan pengetahuan agama terpenuhi oleh setiap keluarga, sehingga mewujudkan
keluarga yang sakinah, mawaddah dan penuh rahmat. Maka tidak menutup
kemungkinan dari keluarga tersebut akan lahir seorang tokoh-tokoh bangsa yang
mampu mengharumkan nama negara kesatuan Republik Indonesia seperti halnya Soekarno
dan Hatta di masa depan. (Dr. Yadi Fahmi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar